Kamis, 14 Februari 2019

Koruptor Kecil

Nah. Ini postingan kedua aku setelah yang tadi. I dont know where i just throw my unek-unek. Karena tempat uneg-uneg ku udah hilang, jadi semestinya sih... Aku keluarin di sini aja ya kan.

Blog menjadi tempat paling setia disaat aku senang, galau, sedih, hampa, marah dan sebagainya. Thankyou so much!

Oke, back to topic. Jadi aku punya problem yang cukup bikin sakit kepala. Ya, masalah yang bikin aku stress berkepanjangan untuk beberapa hari ini.

Aku akan cerita dari awal sesingkat-singkatnya ya.

Jadi, di kampusku, dosen menyediakan buku untuk dibeli. Memang pada awalnya adalah dosen tidak memberikan paksaan untuk wajib membeli. 'bagi siapa yang mau, silakan di beli.'

Tapi uniknya, banyak rumor yang bilang, kalau tidak membeli buku nilai pasti tidak memuaskan, walaupun absen, tugas, uts, uas sebagus gimanapun. Sekali lagi, ini adalah "KATANYA". Mungkin beberapa kating bilang itu emang 'FAKTA' untuk beberapa dosen.

Aku kuliah bukan di kota besar yang banyak toko buku macam Gramedia atau toko buku lain yang tersedia menjual berbagai macam buku. Jadi, jika dosen menyediakan buku, tentu saja itu memudahkan mahasiswanya. Daripada mencari-cari lagi yang belum tentu dapat. Itu menurutku lho ya. Jadi dipandanganku, beli buku ya gapapa. Selama buku juga dipakai.

Akhirnya, ku belilah buku seharga 100rb rupiah itu. Si dosen memberikan kebebasan untuk mengambil dulu bukunya baru bayar nanti. Uangnya dibayarkan ke ketua kelas (yang kalau sebutannya di sini adalah komti).

Akhirnya satu kelas setuju dengan hal itu. Beberapa minggu kemudian, aku membayar buku seharga 100rb itu ke komti. Jadi secara tidak langsung, kewajibanku untuk buku itu sudah beres. Sekarang itu adalah tanggungjawab dari komtinya yang telah dipercayakan untuk memegang uang buku dan memberikannya kepada sang dosen.

Hampir satu kelas semua sudah membayar, sampai pada saat UTS, dosen menagih uang buku. Namun sangat dipertanyakan, "kenapa jadi banyak yang belum bayar buku?!"

Protes berdatangan dari beberapa mahasiswa yang mengaku sudah membayar tapi di kertas yang ada tertulis belum membayar. Saksi mata ada yang melihat bahwa dia sudah membayar.

Pintar bersilat lidah. Kata dosenku ke komti tersebut.

Tapi memang benar. Dia baru mahasiswa semester 1 tapi sudah berani mencari masalah dengan dosen. Katanya kakak tingkat angkatan 2017. Kenapa kelakuannya seperti anak SD? Eh. Anak SD pun sepertinya lebih jujur dan bertanggungjawab.

Menjelang UAS, dosen tetap kekeuh dengan haknya dalam mengambil uang buku. Si komti bilang "nanti..nanti..nanti". Dari sepengetahuanku, dia bilang uangnya dipakai untuk keperluan keluarganya. Keuangan keluarganya lagi nggak baik. Tapi kabar yang diterima dari sang dosen adalah untuk biaya pengobatan orangtuanya.

Berbagai alasan keluar dari mulutnya itu, untuk menutup-nutupi bahwa ia telah menggunakan uang buku tersebut.

Akhinya ibu dosen memberikan suatu ancaman. "Suami saya polisi, lho. Jangan berani bohong kamu."

Setelah dibegitukan, si komti akhirnya jujur bahwa ia memang menggunakan uangnya. Padahal awalnya, dia bilang bahwa nggak pernah memakai uangnya sama sekali.

Sampailah setelah UAS, tetap ditagihin sama dosennya. Temanku tanya sama si komti, "gimana urusan buku? Udah beres?"

"Udah beres. Aku kerja ini." Kata komtinya ke temanku.

Aku mendengar itu ya, sudah tenang. Sampai akhirnya semua nilai sudah keluar, nilai yang bersangkutan belum keluar. Akhirnya jadi was-was. Apakah benar gara-gara masalah uang buku yang dipakainya itu? Ngomong-ngomong uang buku yang dipakai sebesar 4.800.000. Ya. 4,8jt. Tentunya bukan uang yang sedikit bukan?

Ternyata oh ternyata, memang benar adanya. Semua karena uang buku. Nilai yang lambat keluar, akhirnya keluar 2 hari yang lalu. Selasa sore. Nilai yang keluarpun isinya D semua. Tidak lulus sekelasan! Apakah mungkin seperti itu??

Logikanya ya nggak mungkin dong. Akhirnya seisi grup emosi habis-habisan. Dan well. Kemarin mencari solusinya. Dan thankyou for my friend, yang sudah rela datangin ke orangtuanya.

Orangtua si komti neleponan sama sang dosen. Beliau menjelaskan apa yang terjadi. Dan ya, orangtuanya nggak tahu menahu dengan kejadian ini. Jadi, alasannya untuk pengobatan itu bohong! Baru mahasiswa udah pintar bohong.

Yah, dia yang berulah, kok satu kelas juga kena? Terus dia katanya juga nggak kerja. Apa yang dibilangnya semua bohong. Hah? Konyol!

Akhirnya orangtua si komti setuju untuk membayar 4,8jt yang dimaksud dan ya sang dosen juga bersedia untuk mengubah nilai all D yang menyebabkan tidak lulus sekelasan.

Tapi ternyata, tidak semudah itu untuk menarik nilai yang sudah terupload. Katanya butuh lapor ke ketua jurusan lagi. Dan aku nggak mau menahu urusan itu. Takut dan ragu berurusan dengan fakultas. Apalagi ke ketua jurusannya. Haduh. Pusing deh.

Semoga cepat beres deh nilainya. Dan mendapatkan nilai yang memuaskan. A kalau perlu, hehe.

Semoga IP nya 3+ ya. Amin......

Kayaknya itu aja deh. Pelajaran untuk kita semua. Next time jangan bikin komti untuk semua matkul. Kan jadinya gini.

Juga, ini lah bibit-bibit koruptor. Dari hal seperti ini saja sudah kelihatan mau korupsinya. Memakan uang orang seenaknya saja! Berani bertanggungjawab nggak. Malah orangtuanya yang kena! Hadeh. Jangan sampai deh terjadi di aku.

Jujur emang paling terbaik. Walaupun jujur kadang menyakitkan ya, haha.

14 Februari 2019
Palangkaraya, 1:27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar