Bunyi lonceng sekolah berdering nyaring, memekakkan
telinga. Well, ini adalah waktu yang ditunggu-tunggu para siswa SMA Trinada.
Bel istirahat. Hampir semua siswa berhamburan keluar dari kelasnya. Entah itu
ke kantin, ke toilet, ke perpus, ke kantor guru, atau hanya diam di depan
kelas.
Alena berlari dengan kencang dari kelasnya.
Tangannya melambai-lambai, sambil membawa selembar kertas di sebelahnya lagi.
Dari belakang, Adrian tertawa melihat tingkah lucu temannya itu. “Ayo, Al!
Kejar gurunyaa!” Teriak Adrian sambil tertawa renyah.
Alena mendengar itu, jelas. Karena suara Adrian itu
terlampau nyaring. Tapi Alena tidak menghiraukannya. Masa bodoh, pikirnya. Yang penting tugas terkumpul. Asli, tapi ini guru
kok cepet banget ya keluar kelasnya? Orang belum selesai, kok main keluar
kelas! Huh! Kalau aja bukan guru, sudah gue sumpahin. Runtuknya dalam hati.
“Bu Dewii!!!” Teriak Alena, ia terperangah. Nafasnya
sudah tidak teratur, karena diajak ‘bermain lari-larian’ sama Bu Dewi, guru
Kimia.
Langkah Bu Dewi terhenti, ia menghadap belakang,
mencari siapa orang yang memanggilnya. Alena bernapas lega. Syukurlah, Ibunya peka! “Ih-buh. Inih,
tuh-gasnyah sah-yah.” Kata Alena dengan napas yang tersengal-sengal.
Mimik wajah Bu Dewi menunjukkan bahwa ia sedang bingung.
Alena terkekeh. “Sorry, Bu! Maksud saya, saya mau
ngumpul tugas yang tadi.” Jelas Alena lagi, yang kini napasnya sudah lebih
teratur. Alena menyengir, menampilkan deretan giginya.
“Oalah! Ibu kira kamu habis ngapain! Sampai ngos-ngosan
gitu.”
“Demi masa depan, Bu. Saya rela ngejar Ibu sampai
ngos-ngosan!” Katanya dramatis.
“Masa depan apanya? Tugas aja lambat banget
ngumpul.” Bu Dewi berujar sarkasme.
“Wah, Ibu. Kalau itu sih jangan ditanya, Bu. Hehe.
Walaupun begitu, saya kan rajin juga ngumpul tugasnya.” Bela Alena.
“Halah, kamu, bisa aja ngomongnya. Yaudah mana sini
tugasnya.” Ujar Bu Dewi pada akhirnya.
“Hehe, Ibu baik deh. Makasih ya, Bu. Saya permisi
dulu.” Pamit Alena, diakhiri dengan bersalaman dengan Bu Dewi.
**
Alena bernapas lega. Akhirnya tugasnya sudah
terkumpul! Huft, berbahagialah orang yang pantang menyerah. Usaha kertas tidak
akan pernah mengkhianati. Alena berjalan santai melewati koridor di sekolahnya.
Ia menatap lurus jalan di depannya. Ada sesuatu yang ganjal. Tapi apa ya? Ia
berpikir keras.
Apa mungkin
hanya perasaan gue aja? Pikirnya dalam hati.
Mungkin kali ya.
Perasaan gue aja.
Akhirnya Alena mencoba untuk menghiraukannya. Ia
berbelok ke arah kiri, menuju ke kantin. Hingga sebuah tangan berada di
pundaknya, Alena terkejut!
“EH KAMPRET, SIAPA LO!?” Eh, latahnya keluar.
Adrian dan Karin tertawa terbahak.
“AHAHAHAHA! Kaget ya, Neng?” Ledek Adrian pada
Alena.
“Wah, emang kampret dua sejoli ni! Awas aja lo ya!”
Alena mengelus-ngelus dadanya, astaga.
Untuk nggak jantungan guenya.
“Ekspresi lo lucu banget, Al! Beneran deh.” Ledek
Adrian lagi, sambil tertawa renyah. Karin juga masih dalam acara
tertawa-tawanya.
“Puas ya ngetawain guenya! Kalau gue jatungan terus
mati gimana? Susah loh, nyari temen yang kayak gue. Gini-gini gue ini spesies
langka, yang bisa buat elo itu ketawa terus, walaupun jayus.” Curhat Alena.
Adrian dan Karin terdiam. Suasana menjadi hening
seketika.
Krik krik krik.
“Ha. Lo lagi ngelawak ya, Len?” Ledek Karin padanya.
“Kampret! Jayus kan jayus! Apaan banget dah!” Alena
pura-pura ngambek. Bibirnya, sudah maju beberapa senti dari biasanya.
“Dih, ada yang lagi manyun. Padahal rencana gue
tadi, mau ngajak makan loh, ya nggak, Rin?”
Karin mengangguk, membenarkan perkataan Adrian.
Mata Alena tiba-tiba berbinar-binar. Makan? Wah. “AYO AJA WOY, KALO MAKAN MAH
GUE GAS AJA.” Katanya heboh. Bibir ala Kylle Jenner-nya hilang, bergantikan
dengan mulutnya yang terbuka –ngiler.
“Santai aja mulutnya, woy.” Adrian memutar bola
matanya. “Dasar lebay!”
“Ya biarin dong, sirik aja lo! Ayo dah, ntar bel
masuk loh! Ngebakso aja yok!” Ajak Alena.
Karin mengangguk antusias. “AYOO! GUE UDAH LAMA JUGA
NIH ENGGAK NGEBAKSO DI BAKSO OM JOKO.”
“Ya udah, cepat dah!”
Alena cs berlalu dari lapangan satu, kemudian berlari
menuju kantin. Dasar pada nggak ingat
umur! Sindir Alena kepada dirinya sendiri dan teman-temannya.
**
Bunyi bel ala-ala bandara berbunyi. ‘waktu istirahat
bersisa lima menit lagi.’
Sial. Alena berdecak kesal. Kenapa istirahatnya
cepat banget?
“Om Joko, baksonya tiga ya, kayak biasaa!” Pesan
Alena pada Om Joko. Om Joko itu sendiri sudah lama membuka usaha bakso di sini.
Dari awal masuk, Alena cs emang baksolicious banget. Makanan favoritnya lah!
Apalagi, di tambah sambalnya yang luar biasa enaknya. Bisa ngebayangin kan
bagaimana rasa baksonya?
“Monggo, ditunggu… santai aja dulu.” Kata Om Joko.
“Nggak bisa santai, Pak! Lima menit lagi masuk!”
Kata Alena terbirit-birit.
“Santai aja kali! Dasar heboh!” Ledek Adrian lagi.
“Biasanya yang sering ngeledek itu tanda orang sirik
loh!” Balas Alena.
“Udah woy, malah berantem. Nggak malu apa itu
dilihatin sama yang lain? Ingat umur woy!” Karin menengahi pertengkaran mereka.
Mereka terkekeh geli.
Beberapa
menit kemudian, bakso ala Om Joko sudah datang. “Tiga mangkok buat langganan
tercinta.”
Mereka tertawa mendengarnya. “Makasihh, Om! Aku pada
mu, deh!” Kata Alena sambil memberikan tanda berbentuk cinta melalui tangannya,
kemudian dibalas oleh Om Jokonya. Mereka terkekeh, menikmati lawakan yang
dibuat temannya itu.
Alena menatap jam tangan yang melingkar di
tangannya. “Sial. Sisa 3 menit lagi. Makan yang cepet, guys. Nggak bisa makan
inces dan makan cantik di sini. Masalahnya, habis ini Bu Nina, bisa gawat kalau
kita telat masuk!”
Selesai meramu kuah bakso ala-ala Alena. Ia
menyantap bakso di hadapannya. Menggugah selera! Pentol besar, yang isinya
telur itu sungguh menggoda iman. Alena membelahnya menjadi dua, agar muat di
mulutnya yang berukuran sedang. Mereka bertiga benar-benar memakan bakso dengan
secepat kilat. Sudah biasa! Mungkin karena pengaruh dari Alena, mereka berdua
jadi bisa makan secepat itu. Adaptasi yang baik!
Dengan waktu tiga menit, Alena dan dua temannya
sudah hampir menghabiskan makanannya. Aneh namun nyata. Hanya sisa kuah dan
sedikit mie. Semua itu juga langsung tandas oleh Alena. Entah gadis yang
bernama Alena itu mempunyai perut karet, atau memang porsi makannya segitu. “Sial,
gue kepedesan!” Ia mengibas-ngibaskan tangannya ke mulut, seperti mengipas
sesuatu. “Minuum, please! Asem, pedes
banget!”
Teh es miliknya sudah habis dalam sekali minum.
Akhirnya, dengan tergesa-gesa Alena meminta segelas teh es tambahan. Bahkan itu
juga masih belum cukup. Ia menyambar es teh milik Karin yang masih bersisa
separuh gelas. Emang anak ajaib!
“Woy cepat woy! Bu Nina sudah mau masuk!” Teriak
Karin dengan heboh, ketika melihat Bu Nina berjalan dari kantor guru. Hampir
memasuki ruangan kelas mereka. Seusai Adrian membayar semua tagihan, mereka
bertiga lari terbirit-birit, mengejar waktu agar tidak dihukum. Namun itu
sia-sia. Mereka ketahuan!
Sial!
“Heh, kalian bertiga!” Suara cempreng khas Bu Nina
terdengar.
Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka bertiga
menurut, datang ke Bu Nina. “Ya, Bu?” Tanya kami polos.
“Habis dari mana kalian?” Tanyanya sinis.
“Hmm, anu, Bu. Saya tadi baru dari situ,…”
“Situ? Situ itu di mana?”
“Hmm, itu Bu, dari kantin.” Akhirnya, kata-kata itu
meluncur keluar dari bibir mungil Alena.
Adrian sama Karin hanya menepuk jidatnya gemas. Di
saat-saat genting seperti ini, mulut Alena tidak bisa diajak kompromi.
“Kalian tau, jam istirahat dari jam berapa sampai
jam berapa?” Tanyannya lagi.
Kami mengangguk. Kami semua diam, tidak berani untuk
berkutik.
“Kalau saya tanya, ya dijawab!” Bentak Bu Nina.
“Dari jam 9:30-9:45 Bu!” Jawab mereka lagi.
“Terus. Sekarang jam berapa?”
Mereka kasak-kusuk untuk melihat jam. “Jam 9:51 Bu!”
“Kalian merasa benar, atau merasa salah?” Tanya Bu
Nina to the point.
“Kami bersalah, Bu!”
“Menyesali perbuatan kalian?” Tanya Bu Nina lagi.
“Iya Bu! Kami menyesalinya.” Jawab mereka serempak.
“Kalian mau mengulanginya?”
“Tidak mau Bu!”
“Bagus. Sekarang, sebagai hukumannya. Kalian buat
power point mengenai ‘Perlawanan rakyat Manado terhadap VOC.’ Minggu depan
kalian presentasikan di depan kelas. Mengerti?”
“Baik, Bu!” Jawab mereka lagi.
“Bagus. Sekarang, kalian boleh masuk. Jangan
diulangi lagi, kejadian yang seperti ini.”
**
Mungkin hari ini adalah hari sial bagi Alena. Sudah
lambat masuk kelas, diomelin sama Bu Nina, dan dapat hadiah tambahan lagi. Dan
sekarang, Alena lupa untuk membawa buku Sejarahnya! Sialan. Perasaan kemarin
sudah Alena letakkan di dalam tasnya. Tapi kenapa tidak ada? Sudah gitu,
dipelajaran terakhir, ia lupa membawa kamus bahasa Inggris. Jadi ia juga harus
mengerjakan tulisan ‘Saya harus membawa kamus setiap pelajaran bahasa Inggris.’
Sebanyak 100 kali banyaknya, di kertas folio dan tulis tangan.
Dalam sekejap, Alena sudah mempunyai banyak tugas
rumah. Bagus banget. Oh iya, saat ini, Alena sedang berada di lapangan basket
SMA Trinada. Gadis berambut panjang sebahu itu sedang berlari-lari di pinggir
lapangan basket. Di hukum? Bukan lah! Sebagai olahraga siang katanya. Karin
hanya mendengus kesal ketika ia melihat temannya itu berlarian.
“Panas, Len. Nanti kulit lo makin hit—eh makin cokelat
loh!” Ralat Karin.
“Nggak ah, lagi kepengen main nih!” Ujar Alena
dengan tampang, muka pengen.
“Yaudah sih. Buat temen gue tercinta mah, gue
tungguin elo!”
“Idih, nggak usah sebegitunya kali! Udah, lo pulang
aja deh. Kasian juga supir lo nunggu.” Kata Alena perhatian.
“Beneran nih ya? Jangan pulang-pulang malemnya.
Ingat ‘hadiah’ yang dikasih gurunya tadi.” Tekan Karin pada Alena. “—dan, awas
aja lo nggak dengerin gue!” Ancamnya pada Alena.
Alena terkekeh. Ia tersenyum tulus. “Tenang, gue
inget kok, kalau nggak lupa. Hahaha.” Karin memutar bola matanya malas. Seperti
ngomong sama tembok! Keras kepala banget! Sedangkan, Alena hanya tertawa.
“Iyaa, Karin sayang. Kapan sih gue pernah nggak dengerin lo ngomong? Gini-gini
gue ini pendengar yang baik loh!” Ucap Alena bangga. Mendengar itu, Karin
langsung memasang wajah ingin muntahnya. Alena terkekeh. Lucu banget deh!
“Udah sono, pulang. Nggak pulang-pulang kan
jadinya.” Kesal Alena pada Karin. Karin melotot. “Elo ngusir gue ya?” Katanya
pura-pura ngambek.
“Bener ya. Kalo gitu gue pulang dulu. Ingat
pulangnya jangan malem-malem, dan jangan lupa dengan hadiah tambahanmu tadi ya,
Len!” Tegas Karin lagi. “Bye, Lena. Sampai jumpa besok!” Alena tersenyum ke
arah Karin. “Hati-hati!”
**
Tidak ada yang spesial pada sore hari ini. Bosan
banget rasanya main seorang diri, Kurang menantang. Kurang greget. Hingga pada
akhirnya, seorang laki-laki bertubuh besar dan tinggi, ia merebut bola basket
dari tangan Alena yang ingin menshoot
ke arah ring, Dan…
Duk!
Bola basket menyentuh ring, sehingga menimbulkan
bunyi yang memekakan telinga. Satu cetakan poin!
Alena bertepuk tangan. Antara kagum dan sedikit
menghargai hasil shoot-annya. Alena
tidak menahu dari mana lelaki ini berasal. Yang pasti, dari postur tubuhnya,
laki-laki ini sungguh menggoda iman. Wajahnya lumayan tampan lah, menurut
ukuran Indo. Loh? Tapi kok gue
ngebandinginnya sama orang lain ya? Ah bodo amat, dah.
Tangan lincahnya sedang mendribble bola basket milik Alena. Dalam hati Alena berdecak kagum. Boleh juga lah. Pikirnya dalam hati. Tapi
ini orang siapa sih?
Alena tidak mengambil pusing akan itu. Mungkin orang
iseng yang lagi mau main basket di SMA Trinada. Alena berlari mengintari
lapangan. Gadis itu mencoba untuk mengambil bola dari tangan lelaki itu. Sekali
ia ingin mengambilnya, dan… HAP!
Gagal. Tangan lelaki itu terlalu gesit. Bolanya
terlalu dijaga ketat oleh lengan besarnya. Namun, bukan Alena namanya, jika
sekali mencoba langsung menyerah. Alena berlari lagi, mencoba untuk mengejar
lelaki yang kekuatannya lebih kuat darinya.
Sial. Kalau
begini caranya, gue yang diajak main lari-larian sama nih orang! Runtuknya
dalam hati. Santai aja, Alena.
Alena yang mulai kelelahan mencoba untuk menetralkan
deru napasnya yang tidak beraturan. Ketika ia rasa cukup, Alena mulai berlari
lagi mengejar lelaki kingkong itu. Alena mendekat, ingin merebut bolanya.
Dengan beberapa trik yang sudah diajarkan pelatihnya, Alena hampir merebut bola
tersebut. Dan ketika lelaki itu lengah, Alena merebutnya dari arah kirinya. Dan…
HAP!
Gagal lagi.
“SIALAN!” Maki Alena pada lelaki kingkong itu. Mulut
mungilnya sudah gatal ingin mengeluarkan sumpah sarapahnya.
“Lo siapa sih? Ganggu gue main tau nggak?!” Cercah
Alena lagi.
Bukannya menjawab, lelaki itu malah sedikit berlari
sambil membawa bola basketnya. Alena mendengus kesal! Sudah acara mainnya diganggu, terus itu orang sombongnya minta ampun,
dan sekarang.. tuh cowok nyuekin gue? Maunya apa coba? Marahnya dalam hati.
“Banyak bacot! Main aja nggak bisa, tapi sok-sokan
bisa.”
Itu penghinaan. Jelas, itu penghinaan untuk Alena.
Alena mengeluarkan sumpah sarapahnya dalam hati. Alena tau, dirinya memang
tidak sehebat yang lain. Tapi kenapa harus ngeremehin?
Alena diam seribu bahasa. Ia bisa saja membalasnya
dengan sumpah sarapah. Namun, perkataan itu benar adanya.
“Kenapa diam? Ngerasa ya kalau lo memang cupu?”
“Bodo amat. Gue nggak peduli. Sini kembaliin bola
gue!” Bentak Alena pada lelaki itu.
Tidak ada perubahan ekspresi dari wajahnya. Percuma
ganteng tapi kalo sikapnya begitu! Lelaki itu hanya menatap Alena remeh. Sedangkan
Alena merasa marah. Ia begitu menyadari bahwa pandangan matanya meremehkannya.
Alena kesal. Tangannya gatal untuk menamparnya. Namun hal itu diurungkannya. Bahaya
kalau berurusan sama yang begituan.
Beberapa kali, Alena mengerahkan segala caranya
untuk mengambil bola basketnya. Namun nihil. Tidak ada caranya yang berhasil
untuk merebut bola dari tangannya
.
“Mau lo itu apa sih? Kembaliin bola gue! Gue mau
pulang!” Mata Alena telah melotot, ekspresi wajahnya sudah sangat marah.
Sudut bibirnya tertarik ke atas, menampilkan suatu smirk yang agak horror di mata Alena.
Alena bergidik ngeri. “Ngambil bola dari gue aja nggak bisa. Tapi sok-sokan
hebat!”
“Daripada lo, yang bisanya cuman ngeremehin orang.”
Lelaki itu terdiam. Senyum yang tadi terpancar di
wajahnya telah menghilang, tergantikan oleh wajah datarnya lagi. Dasar kingkong
wajah datar!
“Kenapa diam? Daripada lo sibuk ngurusin orang,
mending lo urusin, urusan lo sendiri. Datang-datang nggak jelas, kenal aja
enggak, tapi sok-sokan ngeremehin. Tau apa lo tentang gue?” Ujar Alena sinis,
lalu ia mengambil kasar bola itu dari tangan lelaki yang disebut Alena kingkong
itu. Kemudian, ia mengambil semua barang-barangnya, dan beranjak pergi dari
lapangan basket.
**
Hari mulai gelap, matahari mulai berteduh di tempat
peristirahatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar