Minggu, 04 September 2016

testing cerpen

Bunyi lonceng sekolah berdering nyaring, memekakkan telinga. Well, ini adalah waktu yang ditunggu-tunggu para siswa SMA Trinada. Bel istirahat. Hampir semua siswa berhamburan keluar dari kelasnya. Entah itu ke kantin, ke toilet, ke perpus, ke kantor guru, atau hanya diam di depan kelas.

Alena berlari dengan kencang dari kelasnya. Tangannya melambai-lambai, sambil membawa selembar kertas di sebelahnya lagi. Dari belakang, Adrian tertawa melihat tingkah lucu temannya itu. “Ayo, Al! Kejar gurunyaa!” Teriak Adrian sambil tertawa renyah.

Alena mendengar itu, jelas. Karena suara Adrian itu terlampau nyaring. Tapi Alena tidak menghiraukannya. Masa bodoh, pikirnya. Yang penting tugas terkumpul. Asli, tapi ini guru kok cepet banget ya keluar kelasnya? Orang belum selesai, kok main keluar kelas! Huh! Kalau aja bukan guru, sudah gue sumpahin. Runtuknya dalam hati.

“Bu Dewii!!!” Teriak Alena, ia terperangah. Nafasnya sudah tidak teratur, karena diajak ‘bermain lari-larian’ sama Bu Dewi, guru Kimia.

Langkah Bu Dewi terhenti, ia menghadap belakang, mencari siapa orang yang memanggilnya. Alena bernapas lega. Syukurlah, Ibunya peka! “Ih-buh. Inih, tuh-gasnyah sah-yah.” Kata Alena dengan napas yang tersengal-sengal.

Mimik wajah Bu Dewi menunjukkan bahwa ia sedang bingung.

Alena terkekeh. “Sorry, Bu! Maksud saya, saya mau ngumpul tugas yang tadi.” Jelas Alena lagi, yang kini napasnya sudah lebih teratur. Alena menyengir, menampilkan deretan giginya.

“Oalah! Ibu kira kamu habis ngapain! Sampai ngos-ngosan gitu.”

“Demi masa depan, Bu. Saya rela ngejar Ibu sampai ngos-ngosan!” Katanya dramatis.

“Masa depan apanya? Tugas aja lambat banget ngumpul.” Bu Dewi berujar sarkasme.

“Wah, Ibu. Kalau itu sih jangan ditanya, Bu. Hehe. Walaupun begitu, saya kan rajin juga ngumpul tugasnya.” Bela Alena.

“Halah, kamu, bisa aja ngomongnya. Yaudah mana sini tugasnya.” Ujar Bu Dewi pada akhirnya.

“Hehe, Ibu baik deh. Makasih ya, Bu. Saya permisi dulu.” Pamit Alena, diakhiri dengan bersalaman dengan Bu Dewi.
**
Alena bernapas lega. Akhirnya tugasnya sudah terkumpul! Huft, berbahagialah orang yang pantang menyerah. Usaha kertas tidak akan pernah mengkhianati. Alena berjalan santai melewati koridor di sekolahnya. Ia menatap lurus jalan di depannya. Ada sesuatu yang ganjal. Tapi apa ya? Ia berpikir keras.

Apa mungkin hanya perasaan gue aja? Pikirnya dalam hati.

Mungkin kali ya. Perasaan gue aja.

Akhirnya Alena mencoba untuk menghiraukannya. Ia berbelok ke arah kiri, menuju ke kantin. Hingga sebuah tangan berada di pundaknya, Alena terkejut!

“EH KAMPRET, SIAPA LO!?” Eh, latahnya keluar. 

Adrian dan Karin tertawa terbahak.

“AHAHAHAHA! Kaget ya, Neng?” Ledek Adrian pada Alena.

“Wah, emang kampret dua sejoli ni! Awas aja lo ya!” Alena mengelus-ngelus dadanya, astaga. Untuk nggak jantungan guenya.

“Ekspresi lo lucu banget, Al! Beneran deh.” Ledek Adrian lagi, sambil tertawa renyah. Karin juga masih dalam acara tertawa-tawanya.

“Puas ya ngetawain guenya! Kalau gue jatungan terus mati gimana? Susah loh, nyari temen yang kayak gue. Gini-gini gue ini spesies langka, yang bisa buat elo itu ketawa terus, walaupun jayus.” Curhat Alena.

Adrian dan Karin terdiam. Suasana menjadi hening seketika.

Krik krik krik.

“Ha. Lo lagi ngelawak ya, Len?” Ledek Karin padanya.

“Kampret! Jayus kan jayus! Apaan banget dah!” Alena pura-pura ngambek. Bibirnya, sudah maju beberapa senti dari biasanya.

“Dih, ada yang lagi manyun. Padahal rencana gue tadi, mau ngajak makan loh, ya nggak, Rin?”
Karin mengangguk, membenarkan perkataan Adrian.

Mata Alena tiba-tiba berbinar-binar. Makan? Wah. “AYO AJA WOY, KALO MAKAN MAH GUE GAS AJA.” Katanya heboh. Bibir ala Kylle Jenner-nya hilang, bergantikan dengan mulutnya yang terbuka –ngiler.

“Santai aja mulutnya, woy.” Adrian memutar bola matanya. “Dasar lebay!”

“Ya biarin dong, sirik aja lo! Ayo dah, ntar bel masuk loh! Ngebakso aja yok!” Ajak Alena.
Karin mengangguk antusias. “AYOO! GUE UDAH LAMA JUGA NIH ENGGAK NGEBAKSO DI BAKSO OM JOKO.”

“Ya udah, cepat dah!”

Alena cs berlalu dari lapangan satu, kemudian berlari menuju kantin. Dasar pada nggak ingat umur! Sindir Alena kepada dirinya sendiri dan teman-temannya.
**
Bunyi bel ala-ala bandara berbunyi. ‘waktu istirahat bersisa lima menit lagi.’

Sial. Alena berdecak kesal. Kenapa istirahatnya cepat banget?

“Om Joko, baksonya tiga ya, kayak biasaa!” Pesan Alena pada Om Joko. Om Joko itu sendiri sudah lama membuka usaha bakso di sini. Dari awal masuk, Alena cs emang baksolicious banget. Makanan favoritnya lah! Apalagi, di tambah sambalnya yang luar biasa enaknya. Bisa ngebayangin kan bagaimana rasa baksonya?

“Monggo, ditunggu… santai aja dulu.” Kata Om Joko.

“Nggak bisa santai, Pak! Lima menit lagi masuk!” Kata Alena terbirit-birit.

“Santai aja kali! Dasar heboh!” Ledek Adrian lagi.

“Biasanya yang sering ngeledek itu tanda orang sirik loh!” Balas Alena.

“Udah woy, malah berantem. Nggak malu apa itu dilihatin sama yang lain? Ingat umur woy!” Karin menengahi pertengkaran mereka. Mereka terkekeh geli. 

Beberapa menit kemudian, bakso ala Om Joko sudah datang. “Tiga mangkok buat langganan tercinta.”

Mereka tertawa mendengarnya. “Makasihh, Om! Aku pada mu, deh!” Kata Alena sambil memberikan tanda berbentuk cinta melalui tangannya, kemudian dibalas oleh Om Jokonya. Mereka terkekeh, menikmati lawakan yang dibuat temannya itu.

Alena menatap jam tangan yang melingkar di tangannya. “Sial. Sisa 3 menit lagi. Makan yang cepet, guys. Nggak bisa makan inces dan makan cantik di sini. Masalahnya, habis ini Bu Nina, bisa gawat kalau kita telat masuk!”

Selesai meramu kuah bakso ala-ala Alena. Ia menyantap bakso di hadapannya. Menggugah selera! Pentol besar, yang isinya telur itu sungguh menggoda iman. Alena membelahnya menjadi dua, agar muat di mulutnya yang berukuran sedang. Mereka bertiga benar-benar memakan bakso dengan secepat kilat. Sudah biasa! Mungkin karena pengaruh dari Alena, mereka berdua jadi bisa makan secepat itu. Adaptasi yang baik!

Dengan waktu tiga menit, Alena dan dua temannya sudah hampir menghabiskan makanannya. Aneh namun nyata. Hanya sisa kuah dan sedikit mie. Semua itu juga langsung tandas oleh Alena. Entah gadis yang bernama Alena itu mempunyai perut karet, atau memang porsi makannya segitu. “Sial, gue kepedesan!” Ia mengibas-ngibaskan tangannya ke mulut, seperti mengipas sesuatu. “Minuum, please! Asem, pedes banget!”

Teh es miliknya sudah habis dalam sekali minum. Akhirnya, dengan tergesa-gesa Alena meminta segelas teh es tambahan. Bahkan itu juga masih belum cukup. Ia menyambar es teh milik Karin yang masih bersisa separuh gelas. Emang anak ajaib!

“Woy cepat woy! Bu Nina sudah mau masuk!” Teriak Karin dengan heboh, ketika melihat Bu Nina berjalan dari kantor guru. Hampir memasuki ruangan kelas mereka. Seusai Adrian membayar semua tagihan, mereka bertiga lari terbirit-birit, mengejar waktu agar tidak dihukum. Namun itu sia-sia. Mereka ketahuan!

Sial!

“Heh, kalian bertiga!” Suara cempreng khas Bu Nina terdengar.

Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka bertiga menurut, datang ke Bu Nina. “Ya, Bu?” Tanya kami polos.

“Habis dari mana kalian?” Tanyanya sinis.

“Hmm, anu, Bu. Saya tadi baru dari situ,…”

“Situ? Situ itu di mana?”

“Hmm, itu Bu, dari kantin.” Akhirnya, kata-kata itu meluncur keluar dari bibir mungil Alena.

Adrian sama Karin hanya menepuk jidatnya gemas. Di saat-saat genting seperti ini, mulut Alena tidak bisa diajak kompromi.

“Kalian tau, jam istirahat dari jam berapa sampai jam berapa?” Tanyannya lagi.

Kami mengangguk. Kami semua diam, tidak berani untuk berkutik.

“Kalau saya tanya, ya dijawab!” Bentak Bu Nina.

“Dari jam 9:30-9:45 Bu!” Jawab mereka lagi.

“Terus. Sekarang jam berapa?”

Mereka kasak-kusuk untuk melihat jam. “Jam 9:51 Bu!”

“Kalian merasa benar, atau merasa salah?” Tanya Bu Nina to the point.

“Kami bersalah, Bu!”

“Menyesali perbuatan kalian?” Tanya Bu Nina lagi.

“Iya Bu! Kami menyesalinya.” Jawab mereka serempak.

“Kalian mau mengulanginya?”

“Tidak mau Bu!”

“Bagus. Sekarang, sebagai hukumannya. Kalian buat power point mengenai ‘Perlawanan rakyat Manado terhadap VOC.’ Minggu depan kalian presentasikan di depan kelas. Mengerti?”

“Baik, Bu!” Jawab mereka lagi.

“Bagus. Sekarang, kalian boleh masuk. Jangan diulangi lagi, kejadian yang seperti ini.”
**
Mungkin hari ini adalah hari sial bagi Alena. Sudah lambat masuk kelas, diomelin sama Bu Nina, dan dapat hadiah tambahan lagi. Dan sekarang, Alena lupa untuk membawa buku Sejarahnya! Sialan. Perasaan kemarin sudah Alena letakkan di dalam tasnya. Tapi kenapa tidak ada? Sudah gitu, dipelajaran terakhir, ia lupa membawa kamus bahasa Inggris. Jadi ia juga harus mengerjakan tulisan ‘Saya harus membawa kamus setiap pelajaran bahasa Inggris.’ Sebanyak 100 kali banyaknya, di kertas folio dan tulis tangan.

Dalam sekejap, Alena sudah mempunyai banyak tugas rumah. Bagus banget. Oh iya, saat ini, Alena sedang berada di lapangan basket SMA Trinada. Gadis berambut panjang sebahu itu sedang berlari-lari di pinggir lapangan basket. Di hukum? Bukan lah! Sebagai olahraga siang katanya. Karin hanya mendengus kesal ketika ia melihat temannya itu berlarian.

“Panas, Len. Nanti kulit lo makin hit—eh makin cokelat loh!” Ralat Karin.

“Nggak ah, lagi kepengen main nih!” Ujar Alena dengan tampang, muka pengen.

“Yaudah sih. Buat temen gue tercinta mah, gue tungguin elo!”

“Idih, nggak usah sebegitunya kali! Udah, lo pulang aja deh. Kasian juga supir lo nunggu.” Kata Alena perhatian.

“Beneran nih ya? Jangan pulang-pulang malemnya. Ingat ‘hadiah’ yang dikasih gurunya tadi.” Tekan Karin pada Alena. “—dan, awas aja lo nggak dengerin gue!” Ancamnya pada Alena.

Alena terkekeh. Ia tersenyum tulus. “Tenang, gue inget kok, kalau nggak lupa. Hahaha.” Karin memutar bola matanya malas. Seperti ngomong sama tembok! Keras kepala banget! Sedangkan, Alena hanya tertawa. “Iyaa, Karin sayang. Kapan sih gue pernah nggak dengerin lo ngomong? Gini-gini gue ini pendengar yang baik loh!” Ucap Alena bangga. Mendengar itu, Karin langsung memasang wajah ingin muntahnya. Alena terkekeh. Lucu banget deh!

“Udah sono, pulang. Nggak pulang-pulang kan jadinya.” Kesal Alena pada Karin. Karin melotot. “Elo ngusir gue ya?” Katanya pura-pura ngambek.

“Bener ya. Kalo gitu gue pulang dulu. Ingat pulangnya jangan malem-malem, dan jangan lupa dengan hadiah tambahanmu tadi ya, Len!” Tegas Karin lagi. “Bye, Lena. Sampai jumpa besok!” Alena tersenyum ke arah Karin. “Hati-hati!”
**
Tidak ada yang spesial pada sore hari ini. Bosan banget rasanya main seorang diri, Kurang menantang. Kurang greget. Hingga pada akhirnya, seorang laki-laki bertubuh besar dan tinggi, ia merebut bola basket dari tangan Alena yang ingin menshoot ke arah ring, Dan…

Duk!

Bola basket menyentuh ring, sehingga menimbulkan bunyi yang memekakan telinga. Satu cetakan poin!

Alena bertepuk tangan. Antara kagum dan sedikit menghargai hasil shoot-annya. Alena tidak menahu dari mana lelaki ini berasal. Yang pasti, dari postur tubuhnya, laki-laki ini sungguh menggoda iman. Wajahnya lumayan tampan lah, menurut ukuran Indo. Loh? Tapi kok gue  ngebandinginnya sama orang lain ya? Ah bodo amat, dah.

Tangan lincahnya sedang mendribble bola basket milik Alena. Dalam hati Alena berdecak kagum. Boleh juga lah. Pikirnya dalam hati. Tapi ini orang siapa sih?

Alena tidak mengambil pusing akan itu. Mungkin orang iseng yang lagi mau main basket di SMA Trinada. Alena berlari mengintari lapangan. Gadis itu mencoba untuk mengambil bola dari tangan lelaki itu. Sekali ia ingin mengambilnya, dan… HAP!

Gagal. Tangan lelaki itu terlalu gesit. Bolanya terlalu dijaga ketat oleh lengan besarnya. Namun, bukan Alena namanya, jika sekali mencoba langsung menyerah. Alena berlari lagi, mencoba untuk mengejar lelaki yang kekuatannya lebih kuat darinya.

Sial. Kalau begini caranya, gue yang diajak main lari-larian sama nih orang! Runtuknya dalam hati. Santai aja, Alena.

Alena yang mulai kelelahan mencoba untuk menetralkan deru napasnya yang tidak beraturan. Ketika ia rasa cukup, Alena mulai berlari lagi mengejar lelaki kingkong itu. Alena mendekat, ingin merebut bolanya. Dengan beberapa trik yang sudah diajarkan pelatihnya, Alena hampir merebut bola tersebut. Dan ketika lelaki itu lengah, Alena merebutnya dari arah kirinya. Dan…

HAP!

Gagal lagi.

“SIALAN!” Maki Alena pada lelaki kingkong itu. Mulut mungilnya sudah gatal ingin mengeluarkan sumpah sarapahnya.

“Lo siapa sih? Ganggu gue main tau nggak?!” Cercah Alena lagi.

Bukannya menjawab, lelaki itu malah sedikit berlari sambil membawa bola basketnya. Alena mendengus kesal! Sudah acara mainnya diganggu, terus itu orang sombongnya minta ampun, dan sekarang.. tuh cowok nyuekin gue? Maunya apa coba? Marahnya dalam hati.

“Banyak bacot! Main aja nggak bisa, tapi sok-sokan bisa.”

Itu penghinaan. Jelas, itu penghinaan untuk Alena. Alena mengeluarkan sumpah sarapahnya dalam hati. Alena tau, dirinya memang tidak sehebat yang lain. Tapi kenapa harus ngeremehin?
Alena diam seribu bahasa. Ia bisa saja membalasnya dengan sumpah sarapah. Namun, perkataan itu benar adanya.

“Kenapa diam? Ngerasa ya kalau lo memang cupu?”

“Bodo amat. Gue nggak peduli. Sini kembaliin bola gue!” Bentak Alena pada lelaki itu.

Tidak ada perubahan ekspresi dari wajahnya. Percuma ganteng tapi kalo sikapnya begitu! Lelaki itu hanya menatap Alena remeh. Sedangkan Alena merasa marah. Ia begitu menyadari bahwa pandangan matanya meremehkannya. Alena kesal. Tangannya gatal untuk menamparnya. Namun hal itu diurungkannya. Bahaya kalau berurusan sama yang begituan.

Beberapa kali, Alena mengerahkan segala caranya untuk mengambil bola basketnya. Namun nihil. Tidak ada caranya yang berhasil untuk merebut bola dari tangannya
.
“Mau lo itu apa sih? Kembaliin bola gue! Gue mau pulang!” Mata Alena telah melotot, ekspresi wajahnya sudah sangat marah.

Sudut bibirnya tertarik ke atas, menampilkan suatu smirk yang agak horror di mata Alena. Alena bergidik ngeri. “Ngambil bola dari gue aja nggak bisa. Tapi sok-sokan hebat!”

“Daripada lo, yang bisanya cuman ngeremehin orang.”

Lelaki itu terdiam. Senyum yang tadi terpancar di wajahnya telah menghilang, tergantikan oleh wajah datarnya lagi. Dasar kingkong wajah datar!

“Kenapa diam? Daripada lo sibuk ngurusin orang, mending lo urusin, urusan lo sendiri. Datang-datang nggak jelas, kenal aja enggak, tapi sok-sokan ngeremehin. Tau apa lo tentang gue?” Ujar Alena sinis, lalu ia mengambil kasar bola itu dari tangan lelaki yang disebut Alena kingkong itu. Kemudian, ia mengambil semua barang-barangnya, dan beranjak pergi dari lapangan basket.

**

Hari mulai gelap, matahari mulai berteduh di tempat peristirahatannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar