Minggu, 04 September 2016

testing cerpen (2)

Angin bertiup dengan kencang. Semilir angin malam menusuk ke dalam hati Reina. Titik-titik air turun dengan sangat deras membasahi rambut panjangku. Aku berada di sebuah pantai indah bersama dengan lelaki yang aku sayangi. Delviano, namanya.
“Sayang, udahan yuk lari-larinya..” Katanya pelan namun tegas, mata hazelnya menatap Reina dengan lembut.  “Kita balik ke villa aja yuk. Harinya hujan tuh.”
Reina mengangguk pelan. Menuruti kemauan lelaki yang ia sayang itu. “Ya udah, ayo.” 
Reina beranjak dari tempatnya tadi. Delvian mengulurkan tangannya ke arah Reina. Reina menyambutnya dengan senyuman kecil dan tulus. Reina dan Delvian saling bergandengan tangan. Reina menatap Delvian dengan tatapan teduhnya. Lagi. Ia tersenyum. Delvian yang merasa ditatap, menoleh, dan membalas tatapan teduh itu dengan mata hazelnya. Sudut bibirnya tertarik ke atas. Keduanya saling tersenyum.
**
-Reina-
Awan bergelung di langit mendung, mengirim tanda bahwa airnya akan tumpah. Titik-titik air jatuh membasahi bumi, mengguyur bumi dengan derasnya. Titik-titik air penyejuk gersangnya jiwa. Hujan, entah mengapa aku belajar darinya. Hujan itu istimewa. Ia selalu ingin kembali meski telah jatuh untuk kesekian kalinya.
Aku menghela nafas dengan berat. Apa aku tidak mampu pergi jauh? Apa aku tidak bisa bertahan lebih lama? Aku baru merasakan kebahagiaanku. Namun, kau merebutnya kembali, cepat atau lambat. Tuhan, kenapa? Apa aku terlalu egois untuk meminta hidup lebih lama?
Hatiku sakit, ketika mengetahui bahwa tubuhku mengidap penyakit kanker otak stadium tiga. Aku tahu, ini mungkin hanyalah kesenangan semata. Aku juga sangat tahu, bahwa hidupku tidak akan lama lagi. Perasaan ini semuanya kuperuntukkan untuk Delvian. Aku.. akan berjanji bahwa aku akan menghabiskan sisa waktuku bersamanya. Apa itu terlalu egois?
Mungkin, aku tidak ada artinya bagi seorang Delvian. Hanya seorang gadis penyakitan yang selalu merepotkannya, selalu ngambek padanya, atau selalu merengek ini-itu padanya. Tidak berarti, mungkin. Dokter memang sudah memvonis bahwa umurku tidak akan lama lagi. Kemoterapi? Tidak ada efeknya lagi. Aku juga ingin menyerah. Namun, rasa itu kupendam. Aku menggantinya dengan aku ingin sembuh. Aku ingin sembuh. Ingin sembuh. Sehingga, tidak akan ada beban bagi keluargaku dan untuk Delvian juga.
**
 -Delviano-
Aku merasakan resah, sangat resah. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang aneh, yang tidak aku ketahui dari Reina. Walaupun aku mengenalnya kurang lebih empat tahun lamanya, tapi ada sesuatu yang berbeda.
Fisiknya seakan-akan melemah. Berat badannya menurun, badannya ringkih, terasa ringan. Terkadang Reina juga mengeluh sering pusing, dan kalau sudah tidak sanggup bisa ingin pingsan. Rambutnya juga tidak setebal dulu. Dan selalu lupa dan membatalkan janji-janjinya. Contohnya saja, waktu itu Delvin mengajak Reina untuk makan malam. Namun, Reina berkata bahwa ia tidak bisa, karena ada keperluan mendadak.
Seperti ada yang janggal. Pasti, ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Tapi, itu apa?
**
-Reina-

Titik-titik air membasahi tanah tempatnya menginjakkan kaki. Hujan, selalu bisa menyemaikan kedamaian, dan ketenangan sekaligus. Dari bau tanah sisa tetesnya. Udara dingin menusuk tubuhnya yang ringkih. Reina lagi-lagi menghela napasnya. Frustasi.

Pintu hati terdalam Reina berkata, bahwa jalan yang benar adalah untuk menjauh dan menghindar dari Delvian. Itu lebih baik, daripada ia mengetahui tentang hal ini. Mungkin itu akan berdampak pada hubungan kami. Aku sangat tahu itu, sangat berat untuk memulainya. Mungkin, dengan cara ini, Delvian akan muak padaku lalu memutuskan hubungan ini, dan kemudian ia bertemu dengan gadis yang lebih baik. Yang lebih dari seorang Reina.

Lebih dari satu minggu lamanya, aku pergi untuk kemoterapi di Rumah Sakit Singapura, dengan berat hati aku meninggalkan tanah air, dan meninggalkan Delvian. Aku sudah meminta orang tuaku untuk merahasiakan penyakitku. Maafkan aku, Vian. Aku… hanya tidak ingin membuat kamu bersedih dan khawatir. Maaf.

**

Reina terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Hal yang hanya ia lakukan adalah menutup matanya, Hanya itu yang dapat dilakukannya selama sisa-sisa hidupku. Lemah. National Cancer Centre Hospital. Tempat aku melakukan pengobatan. Mencium bau-bau obat yang tidak asing lagi bagiku.
Dokter telah memvonis umurku tinggal beberapa bulan lagi. Keadaanku semakin memburuk, semakin lemah, dan umurku tidak akan lama lagi. Aku mencoba untuk mengambil secarik kertas dan sebuah pulpen dari nakas di sebelahku.
Kutulis dengan sepenuh hati. Kata demi kata terangkai, kalimat demi kelimat tersusun. Kutulis dengan sebisa mungkin. Dan tidak terasa, aku tinggal menulis baris terakhir. Aku menatap tulisan ku sekali lagi. Aku tersenyum pahit. Surat terakhir, ya?
Aku menatap kumpulan kertas di atas nakas. Kertas bewarna putih bersih… tanpa coretan satupun. Mungkin, jika aku sudah meninggal nanti, aku akan dibalut dalam kain kafan  bewarna putih bersih, tanpa coretan juga. Ah. Ngomong apa aku ini?! Pikiranku terbayang pada Delvian. Apa mungkin, jika aku meninggal nanti, Delvian akan peduli denganku?
**

Setelah dua bulan menghilang tanpa kabar, aku balik ke tanah air. Aku rindu dengan udara Indonesia. Aku rindu dengan keluargaku. Dan yang paling aku rindu dengan kekasihku, Delvian. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Delvian. Apakah dia merindukanku juga? Ataukah sudah melupakanku? Entahlah. Lagipula, aku juga tidak terlalu berharap banyak.
Keadaanku sudah membaik. Aku juga ikut senang mendengar kata-kata itu dari dokter Charles, dokter yang merawatku beberapa bulan ini. Lagipula, aku juga sudah bosan di sana. Tidak ada teman main, teman ngobrol (selain Mama, tentunya), makanannya tidak enak semua, badan sakit semua, dan masih banyak lagi hal-hal yang tidak mengenakkannya. Aku tersenyum kecil. Aku menatap ke sekitar bandara Soekarno Hatta, dan tatapanku teralihkan pada satu titik. Di mana seseorang laki-laki dengan memasang kacamata hitam, dan membawa papan di atasnya, ‘Selamat datang kembali, Reina Evelyn!’ dengan menggunakan huruf capital semua. Sudut bibirku terangkat. Aku tersenyum lebar. Lalu, sedikit berlari menuju ke arah lelaki itu.
**
-Delvian-
Reina menghilang. Nomor teleponnya juga tidak aktif. Ditelepon tidak bisa, disms-pun tidak menjawab. Ke rumahnya? Entah kenapa sekarang keluarga Reina sering tidak dir rumah. Entahlah, benar-benar ada sesuatu yang aneh. Karena rasa penasarannya yang tidak dapat dibendung lagi, Delvian mencoba menyuruh asistennya, untuk mencari tau tentang Reina dan keluarganya.
Dalam waktu kurang lebih, dua minggu, asistennya, Rafa, telah menemukan info-info tentang kekasihnya itu.
“Permisi, Pak. Saya sudah menemukan beberapa info tentang, Ibu Reina. Ibu Reina sekarang sedang di Singapura.”
“Singapura?”
Rafa mengangguk membenarkan. “Dia ke sana dalam proses pengobatan.”
“Pengobatan?”
Memang siapa yang sakit? Pikirnya dalam hati
“Bu Reina, mengidap penyakit  kanker otak, Pak. Sudah sebulanan ini dia di rawat inap di sana.”
Terkejut? Tentu saja. Perkiraannya tidak sampai ke situ. Kanker otak? Kenapa Reina tidak pernah bercerita? Jadi? Selama ini aku dianggapnya apa?
“Raf, tolong siapkan tiket penerbangan ke Singapura besok. Eh, bukan. Malam ini kalau perlu.” Kata Delvian memerintah.
Rafa mengangguk. “Siap, Pak.”
**
Bukan perkara yang sulit untuk menemukan penerbangan malam ke Singapura. Rafa mendapatkannya dengan mudah. Sekarang, Delvian sudah berada di pesawat. Selama penerbangan, ia tidak bisa fokus. Fokusnya hanya pada Reina yang terkena penyakit kanker. Kenapa ia memendam ini sendiri? Apa aku tidak dianggapnya? Kenapa? Dasar bodoh! Ia mengumpat kesal. Kenapa aku tidak menyadari ini dari dahulu? Kenapa?
Tuhan, aku tahu engkau maha adil.
Tuhan, apa aku terlalu egois ketika aku meminta Reina untuk tetap disisiku?
Tuhan… panjangkanlah umur Reina.
Beri dia kesehatan.
Aku..mohon.
**
Selama lima jam penerbangan, akhirnya Delvian tiba di bandara Changi Singapura. Dengan membawa barang-barang yang seadanya, ia mencoba untuk mencari rumah sakit yang dimaksud. Dalam beberapa menit perjalanan Delvian tiba di rumah sakitnya. Ia masuk, dan bertanya pada resepsionis.
“Maaf menganggu waktunya. Saya ingin bertanya, di mana kamar atas nama Reina Evelyn?”
“Mohon tunggu sebentar, Tuan. Saya akan periksa dahulu.”
Delvian mengangguk.
“Kamar atas nama Reina Evelyn ada di lantai tiga, nomor 396A.”
“Terima kasih banyak.”
**
“Lantai tiga nomor 396A.” Ulangnya beberapa kali. Ia masuk ke dalam lift. Kemudian menekan tombol yang di tuju.
TING.
Lift terbuka, dan sekarang Delvian berada di lantai tiga.
“Nomor 380.” Delvian menyuarakan tulisan yang berada di depan pintu kamar tersebut. Hingga ia melihat nomor 396A di depan pintunya. Jantung Delvian berdetak lebih cepat. Ia tidak bisa mengatur deru nafasnya. Antara takut dan khawatir.
Delvian melihat ke ranjang yang di tiduri oleh Reina. Reina terbaring lemah, dengan infus dan tabung oksigen yang melekat pada tubuh mungilnya. Ia terduduk di lantai depan kamar Reina, air matanya merah menahan nangis. Delvian termenung. Begitu bodoh menjadi seorang lelaki. Kenapa? Kenapa ia begitu terlambat untuk mengetahui ini semua?
“Loh? Nak Delvian?” Tanya seorang Ibu paruh baya kepadanya.
Delvian yang merasa terpanggil mengangkat wajahnya yang tertunduk. “Eh, Tante.” Sapa Delvian kepada Mamanya Reina. “Reinanya… nggak apa-apa, Tan?” Tanya Delvian hati-hati.
“Beberapa hari ini dia mulai melemah lagi. Kemarin-kemarin kan sudah baikan. Taunya, kondisinya mulai memburuk lagi. Ya, sampai sekarang.” Ujar Emelyn, Mama Reina. “Ngomong-ngomong, kamu tau dari mana Reina ada di sini? Bukannya Reina nggak mau cerita ya?”
“Reina emang enggak ada cerita, Tan. Reina tiba-tiba nggak bisa dihubungin. Aku ada datang ke rumah Tante, dan katanya Tante sama Reina nggak ada di rumah. Hal itu hampir aku lakuin beberapa minggu. Jadi aku agak curiga. Aku minta sama asistenku buat nyari tau. Kenapa tiba-tiba kayak menghilang? Dan aku baru tau beritanya tadi siang.” Ada jeda di sana. Ia menarik nafasnya berat. “Aku… merasa gagal jadi pacarnya Reina, Tan.”
Emelyn melotot tidak setuju. “Jangan berkata begitu. Lagipula ini bukan kesalahan kamu sepenuhnya. Reinanya juga nggak mau ngasih tau kamunya. Dia nggak mau buat kamu khawatir. Tapi, Tante yakin, Reina sangat sayang padamu. Makanya dia melakukan ini semua, dan bertahan sampai sekarang. Yang kuat, Delvian.” Emelyn tersenyum kecut. Delvian tentu memahami maksud Mamanya Reina itu.
“Tante juga yang sabar. Maaf, selama ini aku nggak ada ngebantu apa-apa untuk Reina.” Delvian merasa bersalah.
“Kan sudah tante bilang, ini bukan kesalahan kamu sepenuhnya.” Emelyn tersenyum tulus.
“Kalau Reinanya bangun, jangan bilang Delvian ada di sini ya, Tante.”
“Loh kenapa?”
“Biarin aja. Nanti malah jadi beban kalau Reina tahu aku ada di sini.” Kata Delvian.
Emelyn mengangguk. “Benar juga. Yang ada dia malah kaget, lagi.”
Delvian tersenyum. “Terima kasih, Tante.”
Tuhan, aku tau Engkau maha adil.
Yang kuat, sayang.
Reina pasti kuat.
Bertahanlah, Reina.
Kita berjuang bersama-sama.
**
Satu bulan kemudian.
Reina sudah merasa badannya sehat kembali. Ia sudah sangat merasa baikan. Tidak henti-hentinya ia selalu bersyukur telah di beri umur yang panjang hingga sekarang. Rasa takut emang ada, tapi ia mencoba untuk melawannya. Ia dalam hati selalu berdoa untuk melindungi dirinya serta kekasihnya, Delvian.
Di sisi lain, Delvian baru tiba lagi di Singapura. Ia telah mendengar bahwa Reina sudah baikan beberapa hari ini. Terima kasih, Tuhan. Hingga sekarang, Reina masih belum mengetahui perihal Delvian ada di Singapura, dan tahu tentang keadaannya. Seminggu yang lalu ia kembali ke Indonesia, karena ia meninggalkan pekerjaannya terlalu lama. Ada beberapa berkas yang memerlukan tanda tangannya, sehingga ia memutuskan untuk pulang. Seminggu di Indonesia, ia melakukan pekerjaan ekstra. Jadi, ia tidak terlalu memikirkan pekerjaannya ketika dirinya menjenguk kekasihnya, Reina.
Delvian tersenyum lebar. Ia sedang melihat Reina yang tertidur lelap di ranjangnya. Tubuhnya mulai berisi. Tidak seberapa, namun tidak sekurus dan sepucat ketika ia pertama kali ke sini. Delvian masuk ke dalam ruangannya, kemudian menggenggam tangan Reina.
“Yang kuat ya, sayang.” Ia mengecup punggung tangan Reina. “Cepat sembuh. Aku kangen banget sama kamu.”
Merasa ada pergerakan dari Reina, Delvian keluar dari kamar Reina. Bahaya kalau Reina sampai tahu.
Reina terbangun dari tidurnya. Sudah beberapa kali ia memimpikan mimpi yang sama. Reina bermimpi tentang Delvian yang sedang membisikkan kata-kata semangat untuknya. Ini lah yang membuat Reina merasa kuat beberapa hari ini. Mimpi itu terasa sangat nyata. Seandainya, kalau Delvian tahu tentang keadaan ini, gimana ya reaksinya?
“Udah bangun, Rei? Ngelamunin apa hayo?” Tiba-tiba Mama masuk, membawa mangkok dan air putih. “Ayo, makan dulu sini.”
“Reina mimpi itu lagi, Ma.”
“Mimpiin Delvian?”
Reina mengangguk. “Iya.”
“Mungkin kamu terlalu kangen sama dia.” Mama terkekeh. “Makanya, kamu cepat sembuh. Biar bisa balik, bisa ketemu lagi sama Delviannya. Jangan dimimpi aja.”
Raut wajah Reina berubah. Dan, Emelyn menyadarinya.
“Enggak ada yang nggak mungkin sayang. Kamu pernah dengar, mujizat itu nyata, bukan? Nggak ada yang mustahil. Kamu pasti bisa sembuh. Tapi kamunya harus sering-sering minum obat, makan, sama rutin check up. Oke?” Mama mengambil mangkok dan sendok, lalu meletakkannya di nakas sebelah Reina. “Nah, ayo makan dulu. Habis ini minum obat.”
Reina tersenyum mendengar perkataan Mamanya. Ia membuka mulutnya untuk menerima bubur itu, dan makan dengan lahap.
**
12 Oktober 2014
Tidak terasa, waktu berjalan dengan cepat. Bulan September terlewati, sekarang masuk ke bulan Oktober. Keadaan Reina sudah mulai memulih. Sungguh baik! Ia sudah bisa makan dengan baik. Walaupun masih harus check up dan ini-itu. Tapi setidaknya, Reina lebih ceria dari yang sebelumnya. Sudah dua bulan lamanya, Reina berada di rumah sakit ini. Bosan rasanya. Tidak ada teman untuk berbicara. Hanya Mama yang setia menemani. Papa sibuk dengan pekerjaannya, sehingga Papa hanya kadang-kadang datang ke sini. Tapi tidak masalah. Reina tidak terlalu mempermasalahkan masalah itu. Dan sekarang, Reina dan Mamanya kembali ke Indonesia. Dalam beberapa jam penerbangan menuju Indonesia, Reina tertidur. Sehingga lima jam perjalanan rasanya hanya satu jam saja. Karena kebanyakan tidurnya, hehe.
**
11 Oktober 2014
“Vian, besok Tante sama Reina sudah balik ke Jakarta. Kamu jemput gih. Dia bilang ke Tante, katanya dia sering mimpiin kamu. Padahal nggak tau kalau itu asli.” Emelyn terkekeh.
Delvian tertawa renyah. “Iya Tante. Siap! Ceritanya kan, Tante sama Reinanya habis liburan gitu kan.” Kata Delvian lagi.
“Iya, ceritanya gitu aja. Liburan dua bulan gitu ya.” Emelyn tertawa lagi.
Delvian juga tertawa, “Ngomong-ngomong, besok penerbangan jam berapa, Tan?”
“Jam 8 pagi, paling sampai Jakarta sekitar jam satu siang.”
“Oke siapp, laksanakan. Delvian tutup dulu teleponnya ya, Tante.”
“Lain kali, jangan panggil Tante lagi. Mama aja gitu.”
Delvian tertawa. “Beneran nih, Tan? Eh—Ma?” Ralatnya.
Mama juga tertawa. “Iya, Mama juga enggak apa-apa.”
“Yaudah, hm, Ma. Delvian tutup dulu teleponnya. Besok Delvian telepon lagi.”
“Okay. Salam buat Mama-mu ya.”
Telepon terputus, Delvian tersenyum lebar. Reina pulang!
**
Malam sunyi tinggalkan mimpi, gelapnya malam telah memudar, menjemput indahnya pagi. Semilir menari, berhembus bersama mentari, waktu telah berganti menjadi hari baru. Hari baru telah dimulai bersama dengan kicauan merdu. Bening embun menari, di atas rerumputan, seakan menikmati cerahnya hari ini.
Delvian bangun pagi hari ini. Lelaki itu begitu bersemangat. Ia telah menyiapkan papan besar untuk kedatangan kembali kekasihnya, Reina. Bahagia dan rasa senang meliputi hatinya. Sesuai dengan rencannya kemarin, ia akan berolahraga pagi dahulu, berangkat kantor untuk mengecek keadaan kantor, kemudian berangkat ke bandara deh!
Hal itu benar-benar dilakukan Delvian. Sekarang ia sedang perjalanan ke bandara Soekarno Hatta,  ia memakai kacamata hitamnya untuk menghalau silau mentari siang. Hari ini matahari begitu teriknya. Delvian sengaja tidak makan siang, karena ingin sekalian mengajak Mama Emelyn dan Reina untuk makan siang. Dengan kecepatan stabil, Delvian membawa mobilnya, hingga tiba di bandara Soekarno Hatta pada pukul dua belas lewat sepuluh menit.
Sambil menunggu, Delvian membuka apple-nya untuk melihat perkembangan proyeknya yang sedang berjalan. Ia sedang menunggu di Starbucks, sambil meminum espresso-nya. Lelaki itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul dua belas kurang sepuluh menit. Delvian beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu kedatangan, sambil membawa papan besar. Masa bodoh dengan yang malu. Yang penting bisa lihat kekasihnya itu tersenyum kepadanya.
**
Bunyi pengumuman kedatangan telah berbunyi. Senyum Delvian mengembang. Akhirnya, waktu yang ditunggu telah tiba. Ia mengangkat tinggi-tinggi papan yang dibawanya. Papan tersebut bertuliskan ‘Selamat datang kembali, Reina Evelyn!’ dengan bantuan Rafa, ia menyelesaikan ini dalam sekejap.
Delvian telah mewanti-wantikan kedatangan Reina. Hingga ia melihat gadis dengan menggunakan sweater bewarna biru gelap dengan celana panjang hitam. Rambut pendeknya yang terurai indah. Delvian melihat gadis kecilnya tersenyum kecil. Kemudian, senyum itu berganti dengan senyuman lebar, sambil berlari ke arah Delvian.
Delvian terkekeh. Gemas. Delvian langsung menurunkan papannya, kemudian memeluk Reina erat. “Selamat datang kembali, sayang.” Bisiknya.
Reina tersipu malu. Gadis itu menyembunyikan wajah merahnya di bahu Delvian.  
Delvian terkekeh lagi. Ia mencubit pipi Reina yang tersipu malu.
“Jadi gitu ya, Mama ditinggal?” Kata Mama tiba-tiba yang baru saja datang. Mama tersenyum manis. Ia bahagia melihat anaknya bisa tersenyum lagi.
Reina tertawa. “Maaf, Ma. Kesenengan sih.”
“Sini, Ma. Aku bawain barang-barangnya.” Delvian menawarkan.
Mama memberikan beberapa koper miliknya ke Delvian. Delvian menyambutnya, satu tangannya yang kosong ia gunakan untuk mengenggam tangan Reina. Mungil. Berbanding terbalik dengan tangan Delvian yang lebar. Wajah Reina bersemu lagi. Ia tersenyum begitu lebar.
**
Setelah itu, Delvian mengajak Reina dan Mamanya untuk makan siang. Selanjutnya, mengantar ke rumah Reina. Sesampainya di rumah Reina, Mama turun terlebih dahulu. Disusul oleh Reina yang dibantu dengan Delvian. Delvian memberikan tangannya, dan disambut oleh Reina. Reina tersenyum lagi. Pipinya bersemu merah kembali. Gemas!
“Ayo turun.” Ajak Delvian. Reina kemudian turun dari mobil, dan berjalan menuju kamarnya, yang tidak ditempati selama dua bulan lamanya.
“Delvian.” Sapa Reina.
“Ya?”
“Maaf,” Reina menunduk.
“Maaf kenapa?”
“Enggak. Cuman mau minta maaf aja.” Ujar Reina lagi.
“Kamu aneh deh! Jangan ngomong macem-macem gitu. Bikin aku takut.” Wajah Delvian berubah menjadi sedih.
“Liburan kenapa enggak bilang-bilang? Kenapa langsung menghilang gitu aja? Nggak bisa dihubungin?” Tanya Delvian beruntut.
“Liburan?”
“Loh, kata Bik Inah kan gitu. Kata Mama-mu juga gitu kok.”
“Oh—itu..” Suara Reina agak tercekat.
Delvian menyadari bahwa ia salah ngomong. “Enggak, lupakan deh.”
“Delvian, besok main ke taman yuk?”
“Boleh. Mau malam ini? Jangan besok, kelamaan.” Kata Delvian sambil terkekeh.
“Oke. Malam ini ya.”
“Iya. Nanti aku jemput.”
Reina mengangguk menyetujuinya. Ia harus mengatakan sebenarnya. Harus.
**
Siang bergantikan malam. Sinar matahari berganti dengan cahaya rembulan dan kerlap-kerlip bintang. Malam ini sangat cerah. Sungguh mendukung, pikir Reina. Reina telah menyiapkan hatinya dengan segala konsekuensinya. Iya, dia telah menyiapkan dirinya.
Tepat jam tujuh malam, Reina dijemput oleh Delvian. Delvian menyapa Emelyn yang sedang menonton televisi di ruang tengah.
“Mau jemput Reina ya?”
“Iya, Ma.” Kata Delvian agak canggung.
Mama tertawa. “Jangan canggung, biasa aja. Yaudah gih, masuk ke dalam kamarnya Reina.”
“Oke, Ma.” Delvian berjalan menuju kamar Reina.
Reina menggunakan sweater pink dengan celana jeans hitam. Sederhana, namun dapat membuat Delvian terpukau.
“Cantik.” Gumamnya.
Reina tersenyum. “Makasihh. Yukk,” Katanya sambil memasang sepatu flatnya.
Taman yang dimaksud adalah taman yang di dekat rumahnya. Mereka berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Tidak ada yang membuka suara, mereka masih menikmati suasana ini masing-masing. Hingga suara Reina memecah keheningan di antara keduanya.
“Delvian.”
“Ya?”
“Sebenarnya, aku mau ngomong jujur sama kamu.”
“Ngomong jujur tentang apa?” Alisnya hampir menyatu, ia bingung ke mana arah tujuan pembicaraan Reina. Apa mungkin tentang penyakitnya?
“Sebenarnya, aku… punya penyakit kanker otak.” Katanya terbata-bata. Matanya memerah, menahan tangis.
“…dan aku, sudah divonis dokter. Umurku tidak akan lama lagi, Delvian. Maaf.” Tangisnya pecah. Genggaman tangannya terlepas. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Delvian tersenyum kecil. “Sebenarnya aku sudah tau, sayang.” Delvian membawa Reina dalam pelukannya. Reina agak sedikit terkejut.
“Sudah tau?” Mata sembabnya membesar.
“Iya. Sejak dua bulan yang lalu.” Kata Delvian.
“Dari siapa?”
“Cari tau sendiri lah. Keluarga kamu mana ada yang ngasih tau. Katanya permintaan anaknya.” Ledek Delvian.
Bibir Reina maju beberapa sentimeter. “Jangan manyun gitu.”
“Terus?”
“Terus apanya?”
“Kamu cuman tau aku sakit doang? Terus tadi kenapa bilang gimana liburannya?”
“Kan, biar kamu nggak curiga.” Jawab Delvian enteng.
“Aku mimpiin kamu loh.” Curhat Reina.
“Serius? Mimpi apa?”
“Banyak. Kamu nyemangatin aku biar aku tetap kuat. Terus kamu bilang, ‘ayo kita berjuang sama-sama.’ Dan banyak lagi.”
Delvian mangut-mangut. “Oh gitu, kangen aku ya?”
“Banget.” Jawabnya. “Emang kamu nggak kangen aku?” Tanya Reina balik.
“Kangen banget.” Kata Delvian sambil menatap kerlap-kerlip bintang di langit malam. Mereka sedang rebahan di hamparan rumput di taman dekat rumah Reina.
“Bohong.”
“Kapan aku pernah bohong?” Sargahnya balik. “Lihat bintangnya deh. Bagus ya.”
“Iya. Bagus. Itu bukannya bintang jatuh?” Jari mungilnya menunjuk kea rah bintang yang agak besar.
“Mau ngasih permintaan?”
“Boleh.”
Mereka berdua menutup matanya. Meminta satu permohonan.
Tuhan. Biarkan kami selalu seperti ini. Jangan pisahkan kami.
“Kamu mohon apa tadi?” Tanya Reina.
“Kamu kepo deh.” Usil Delvian.
“Ih jadi kamu gitu.”
Delvian tertawa. “Ngambek ya? Bercanda kok.” Wajahnya berubah menjadi serius. “Permintaan aku? Biar kamu enggak sakit-sakit lagi. Dan tetap berada di sisiku.” Delvian menatap Reina dengan serius namun penuh kelembutan.
Reina terdiam. Tidak bersuara.
“Jangan pergi. Kita lewatin semuanya, sama-sama ya? Kamu harus kuat, Reina.” Kata Delvian lemah.
Reina memeluk Delvian dengan erat. Seakan-akan tidak akan meninggalkannya begitu saja.
“Pasti.”
**
Ini bukanlah suatu akhir yang bahagia. Namun setidaknya, tidak terlalu menyedihkan. Biarkan mereka menjalani hidupnya sebagaimana mestinya. Memiliki penyakit bukanlah suatu halangan dalam membangun komitmen. Saling menghargai dan saling menyemangati. Maka di situlah akan ada fondasi yang kokoh.
Biarkan mereka bahagia dengan cara mereka sendiri. Karena semua manusia perlu merasakan bahagia yang abadi.

-TAMAT-

testing cerpen

Bunyi lonceng sekolah berdering nyaring, memekakkan telinga. Well, ini adalah waktu yang ditunggu-tunggu para siswa SMA Trinada. Bel istirahat. Hampir semua siswa berhamburan keluar dari kelasnya. Entah itu ke kantin, ke toilet, ke perpus, ke kantor guru, atau hanya diam di depan kelas.

Alena berlari dengan kencang dari kelasnya. Tangannya melambai-lambai, sambil membawa selembar kertas di sebelahnya lagi. Dari belakang, Adrian tertawa melihat tingkah lucu temannya itu. “Ayo, Al! Kejar gurunyaa!” Teriak Adrian sambil tertawa renyah.

Alena mendengar itu, jelas. Karena suara Adrian itu terlampau nyaring. Tapi Alena tidak menghiraukannya. Masa bodoh, pikirnya. Yang penting tugas terkumpul. Asli, tapi ini guru kok cepet banget ya keluar kelasnya? Orang belum selesai, kok main keluar kelas! Huh! Kalau aja bukan guru, sudah gue sumpahin. Runtuknya dalam hati.

“Bu Dewii!!!” Teriak Alena, ia terperangah. Nafasnya sudah tidak teratur, karena diajak ‘bermain lari-larian’ sama Bu Dewi, guru Kimia.

Langkah Bu Dewi terhenti, ia menghadap belakang, mencari siapa orang yang memanggilnya. Alena bernapas lega. Syukurlah, Ibunya peka! “Ih-buh. Inih, tuh-gasnyah sah-yah.” Kata Alena dengan napas yang tersengal-sengal.

Mimik wajah Bu Dewi menunjukkan bahwa ia sedang bingung.

Alena terkekeh. “Sorry, Bu! Maksud saya, saya mau ngumpul tugas yang tadi.” Jelas Alena lagi, yang kini napasnya sudah lebih teratur. Alena menyengir, menampilkan deretan giginya.

“Oalah! Ibu kira kamu habis ngapain! Sampai ngos-ngosan gitu.”

“Demi masa depan, Bu. Saya rela ngejar Ibu sampai ngos-ngosan!” Katanya dramatis.

“Masa depan apanya? Tugas aja lambat banget ngumpul.” Bu Dewi berujar sarkasme.

“Wah, Ibu. Kalau itu sih jangan ditanya, Bu. Hehe. Walaupun begitu, saya kan rajin juga ngumpul tugasnya.” Bela Alena.

“Halah, kamu, bisa aja ngomongnya. Yaudah mana sini tugasnya.” Ujar Bu Dewi pada akhirnya.

“Hehe, Ibu baik deh. Makasih ya, Bu. Saya permisi dulu.” Pamit Alena, diakhiri dengan bersalaman dengan Bu Dewi.
**
Alena bernapas lega. Akhirnya tugasnya sudah terkumpul! Huft, berbahagialah orang yang pantang menyerah. Usaha kertas tidak akan pernah mengkhianati. Alena berjalan santai melewati koridor di sekolahnya. Ia menatap lurus jalan di depannya. Ada sesuatu yang ganjal. Tapi apa ya? Ia berpikir keras.

Apa mungkin hanya perasaan gue aja? Pikirnya dalam hati.

Mungkin kali ya. Perasaan gue aja.

Akhirnya Alena mencoba untuk menghiraukannya. Ia berbelok ke arah kiri, menuju ke kantin. Hingga sebuah tangan berada di pundaknya, Alena terkejut!

“EH KAMPRET, SIAPA LO!?” Eh, latahnya keluar. 

Adrian dan Karin tertawa terbahak.

“AHAHAHAHA! Kaget ya, Neng?” Ledek Adrian pada Alena.

“Wah, emang kampret dua sejoli ni! Awas aja lo ya!” Alena mengelus-ngelus dadanya, astaga. Untuk nggak jantungan guenya.

“Ekspresi lo lucu banget, Al! Beneran deh.” Ledek Adrian lagi, sambil tertawa renyah. Karin juga masih dalam acara tertawa-tawanya.

“Puas ya ngetawain guenya! Kalau gue jatungan terus mati gimana? Susah loh, nyari temen yang kayak gue. Gini-gini gue ini spesies langka, yang bisa buat elo itu ketawa terus, walaupun jayus.” Curhat Alena.

Adrian dan Karin terdiam. Suasana menjadi hening seketika.

Krik krik krik.

“Ha. Lo lagi ngelawak ya, Len?” Ledek Karin padanya.

“Kampret! Jayus kan jayus! Apaan banget dah!” Alena pura-pura ngambek. Bibirnya, sudah maju beberapa senti dari biasanya.

“Dih, ada yang lagi manyun. Padahal rencana gue tadi, mau ngajak makan loh, ya nggak, Rin?”
Karin mengangguk, membenarkan perkataan Adrian.

Mata Alena tiba-tiba berbinar-binar. Makan? Wah. “AYO AJA WOY, KALO MAKAN MAH GUE GAS AJA.” Katanya heboh. Bibir ala Kylle Jenner-nya hilang, bergantikan dengan mulutnya yang terbuka –ngiler.

“Santai aja mulutnya, woy.” Adrian memutar bola matanya. “Dasar lebay!”

“Ya biarin dong, sirik aja lo! Ayo dah, ntar bel masuk loh! Ngebakso aja yok!” Ajak Alena.
Karin mengangguk antusias. “AYOO! GUE UDAH LAMA JUGA NIH ENGGAK NGEBAKSO DI BAKSO OM JOKO.”

“Ya udah, cepat dah!”

Alena cs berlalu dari lapangan satu, kemudian berlari menuju kantin. Dasar pada nggak ingat umur! Sindir Alena kepada dirinya sendiri dan teman-temannya.
**
Bunyi bel ala-ala bandara berbunyi. ‘waktu istirahat bersisa lima menit lagi.’

Sial. Alena berdecak kesal. Kenapa istirahatnya cepat banget?

“Om Joko, baksonya tiga ya, kayak biasaa!” Pesan Alena pada Om Joko. Om Joko itu sendiri sudah lama membuka usaha bakso di sini. Dari awal masuk, Alena cs emang baksolicious banget. Makanan favoritnya lah! Apalagi, di tambah sambalnya yang luar biasa enaknya. Bisa ngebayangin kan bagaimana rasa baksonya?

“Monggo, ditunggu… santai aja dulu.” Kata Om Joko.

“Nggak bisa santai, Pak! Lima menit lagi masuk!” Kata Alena terbirit-birit.

“Santai aja kali! Dasar heboh!” Ledek Adrian lagi.

“Biasanya yang sering ngeledek itu tanda orang sirik loh!” Balas Alena.

“Udah woy, malah berantem. Nggak malu apa itu dilihatin sama yang lain? Ingat umur woy!” Karin menengahi pertengkaran mereka. Mereka terkekeh geli. 

Beberapa menit kemudian, bakso ala Om Joko sudah datang. “Tiga mangkok buat langganan tercinta.”

Mereka tertawa mendengarnya. “Makasihh, Om! Aku pada mu, deh!” Kata Alena sambil memberikan tanda berbentuk cinta melalui tangannya, kemudian dibalas oleh Om Jokonya. Mereka terkekeh, menikmati lawakan yang dibuat temannya itu.

Alena menatap jam tangan yang melingkar di tangannya. “Sial. Sisa 3 menit lagi. Makan yang cepet, guys. Nggak bisa makan inces dan makan cantik di sini. Masalahnya, habis ini Bu Nina, bisa gawat kalau kita telat masuk!”

Selesai meramu kuah bakso ala-ala Alena. Ia menyantap bakso di hadapannya. Menggugah selera! Pentol besar, yang isinya telur itu sungguh menggoda iman. Alena membelahnya menjadi dua, agar muat di mulutnya yang berukuran sedang. Mereka bertiga benar-benar memakan bakso dengan secepat kilat. Sudah biasa! Mungkin karena pengaruh dari Alena, mereka berdua jadi bisa makan secepat itu. Adaptasi yang baik!

Dengan waktu tiga menit, Alena dan dua temannya sudah hampir menghabiskan makanannya. Aneh namun nyata. Hanya sisa kuah dan sedikit mie. Semua itu juga langsung tandas oleh Alena. Entah gadis yang bernama Alena itu mempunyai perut karet, atau memang porsi makannya segitu. “Sial, gue kepedesan!” Ia mengibas-ngibaskan tangannya ke mulut, seperti mengipas sesuatu. “Minuum, please! Asem, pedes banget!”

Teh es miliknya sudah habis dalam sekali minum. Akhirnya, dengan tergesa-gesa Alena meminta segelas teh es tambahan. Bahkan itu juga masih belum cukup. Ia menyambar es teh milik Karin yang masih bersisa separuh gelas. Emang anak ajaib!

“Woy cepat woy! Bu Nina sudah mau masuk!” Teriak Karin dengan heboh, ketika melihat Bu Nina berjalan dari kantor guru. Hampir memasuki ruangan kelas mereka. Seusai Adrian membayar semua tagihan, mereka bertiga lari terbirit-birit, mengejar waktu agar tidak dihukum. Namun itu sia-sia. Mereka ketahuan!

Sial!

“Heh, kalian bertiga!” Suara cempreng khas Bu Nina terdengar.

Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka bertiga menurut, datang ke Bu Nina. “Ya, Bu?” Tanya kami polos.

“Habis dari mana kalian?” Tanyanya sinis.

“Hmm, anu, Bu. Saya tadi baru dari situ,…”

“Situ? Situ itu di mana?”

“Hmm, itu Bu, dari kantin.” Akhirnya, kata-kata itu meluncur keluar dari bibir mungil Alena.

Adrian sama Karin hanya menepuk jidatnya gemas. Di saat-saat genting seperti ini, mulut Alena tidak bisa diajak kompromi.

“Kalian tau, jam istirahat dari jam berapa sampai jam berapa?” Tanyannya lagi.

Kami mengangguk. Kami semua diam, tidak berani untuk berkutik.

“Kalau saya tanya, ya dijawab!” Bentak Bu Nina.

“Dari jam 9:30-9:45 Bu!” Jawab mereka lagi.

“Terus. Sekarang jam berapa?”

Mereka kasak-kusuk untuk melihat jam. “Jam 9:51 Bu!”

“Kalian merasa benar, atau merasa salah?” Tanya Bu Nina to the point.

“Kami bersalah, Bu!”

“Menyesali perbuatan kalian?” Tanya Bu Nina lagi.

“Iya Bu! Kami menyesalinya.” Jawab mereka serempak.

“Kalian mau mengulanginya?”

“Tidak mau Bu!”

“Bagus. Sekarang, sebagai hukumannya. Kalian buat power point mengenai ‘Perlawanan rakyat Manado terhadap VOC.’ Minggu depan kalian presentasikan di depan kelas. Mengerti?”

“Baik, Bu!” Jawab mereka lagi.

“Bagus. Sekarang, kalian boleh masuk. Jangan diulangi lagi, kejadian yang seperti ini.”
**
Mungkin hari ini adalah hari sial bagi Alena. Sudah lambat masuk kelas, diomelin sama Bu Nina, dan dapat hadiah tambahan lagi. Dan sekarang, Alena lupa untuk membawa buku Sejarahnya! Sialan. Perasaan kemarin sudah Alena letakkan di dalam tasnya. Tapi kenapa tidak ada? Sudah gitu, dipelajaran terakhir, ia lupa membawa kamus bahasa Inggris. Jadi ia juga harus mengerjakan tulisan ‘Saya harus membawa kamus setiap pelajaran bahasa Inggris.’ Sebanyak 100 kali banyaknya, di kertas folio dan tulis tangan.

Dalam sekejap, Alena sudah mempunyai banyak tugas rumah. Bagus banget. Oh iya, saat ini, Alena sedang berada di lapangan basket SMA Trinada. Gadis berambut panjang sebahu itu sedang berlari-lari di pinggir lapangan basket. Di hukum? Bukan lah! Sebagai olahraga siang katanya. Karin hanya mendengus kesal ketika ia melihat temannya itu berlarian.

“Panas, Len. Nanti kulit lo makin hit—eh makin cokelat loh!” Ralat Karin.

“Nggak ah, lagi kepengen main nih!” Ujar Alena dengan tampang, muka pengen.

“Yaudah sih. Buat temen gue tercinta mah, gue tungguin elo!”

“Idih, nggak usah sebegitunya kali! Udah, lo pulang aja deh. Kasian juga supir lo nunggu.” Kata Alena perhatian.

“Beneran nih ya? Jangan pulang-pulang malemnya. Ingat ‘hadiah’ yang dikasih gurunya tadi.” Tekan Karin pada Alena. “—dan, awas aja lo nggak dengerin gue!” Ancamnya pada Alena.

Alena terkekeh. Ia tersenyum tulus. “Tenang, gue inget kok, kalau nggak lupa. Hahaha.” Karin memutar bola matanya malas. Seperti ngomong sama tembok! Keras kepala banget! Sedangkan, Alena hanya tertawa. “Iyaa, Karin sayang. Kapan sih gue pernah nggak dengerin lo ngomong? Gini-gini gue ini pendengar yang baik loh!” Ucap Alena bangga. Mendengar itu, Karin langsung memasang wajah ingin muntahnya. Alena terkekeh. Lucu banget deh!

“Udah sono, pulang. Nggak pulang-pulang kan jadinya.” Kesal Alena pada Karin. Karin melotot. “Elo ngusir gue ya?” Katanya pura-pura ngambek.

“Bener ya. Kalo gitu gue pulang dulu. Ingat pulangnya jangan malem-malem, dan jangan lupa dengan hadiah tambahanmu tadi ya, Len!” Tegas Karin lagi. “Bye, Lena. Sampai jumpa besok!” Alena tersenyum ke arah Karin. “Hati-hati!”
**
Tidak ada yang spesial pada sore hari ini. Bosan banget rasanya main seorang diri, Kurang menantang. Kurang greget. Hingga pada akhirnya, seorang laki-laki bertubuh besar dan tinggi, ia merebut bola basket dari tangan Alena yang ingin menshoot ke arah ring, Dan…

Duk!

Bola basket menyentuh ring, sehingga menimbulkan bunyi yang memekakan telinga. Satu cetakan poin!

Alena bertepuk tangan. Antara kagum dan sedikit menghargai hasil shoot-annya. Alena tidak menahu dari mana lelaki ini berasal. Yang pasti, dari postur tubuhnya, laki-laki ini sungguh menggoda iman. Wajahnya lumayan tampan lah, menurut ukuran Indo. Loh? Tapi kok gue  ngebandinginnya sama orang lain ya? Ah bodo amat, dah.

Tangan lincahnya sedang mendribble bola basket milik Alena. Dalam hati Alena berdecak kagum. Boleh juga lah. Pikirnya dalam hati. Tapi ini orang siapa sih?

Alena tidak mengambil pusing akan itu. Mungkin orang iseng yang lagi mau main basket di SMA Trinada. Alena berlari mengintari lapangan. Gadis itu mencoba untuk mengambil bola dari tangan lelaki itu. Sekali ia ingin mengambilnya, dan… HAP!

Gagal. Tangan lelaki itu terlalu gesit. Bolanya terlalu dijaga ketat oleh lengan besarnya. Namun, bukan Alena namanya, jika sekali mencoba langsung menyerah. Alena berlari lagi, mencoba untuk mengejar lelaki yang kekuatannya lebih kuat darinya.

Sial. Kalau begini caranya, gue yang diajak main lari-larian sama nih orang! Runtuknya dalam hati. Santai aja, Alena.

Alena yang mulai kelelahan mencoba untuk menetralkan deru napasnya yang tidak beraturan. Ketika ia rasa cukup, Alena mulai berlari lagi mengejar lelaki kingkong itu. Alena mendekat, ingin merebut bolanya. Dengan beberapa trik yang sudah diajarkan pelatihnya, Alena hampir merebut bola tersebut. Dan ketika lelaki itu lengah, Alena merebutnya dari arah kirinya. Dan…

HAP!

Gagal lagi.

“SIALAN!” Maki Alena pada lelaki kingkong itu. Mulut mungilnya sudah gatal ingin mengeluarkan sumpah sarapahnya.

“Lo siapa sih? Ganggu gue main tau nggak?!” Cercah Alena lagi.

Bukannya menjawab, lelaki itu malah sedikit berlari sambil membawa bola basketnya. Alena mendengus kesal! Sudah acara mainnya diganggu, terus itu orang sombongnya minta ampun, dan sekarang.. tuh cowok nyuekin gue? Maunya apa coba? Marahnya dalam hati.

“Banyak bacot! Main aja nggak bisa, tapi sok-sokan bisa.”

Itu penghinaan. Jelas, itu penghinaan untuk Alena. Alena mengeluarkan sumpah sarapahnya dalam hati. Alena tau, dirinya memang tidak sehebat yang lain. Tapi kenapa harus ngeremehin?
Alena diam seribu bahasa. Ia bisa saja membalasnya dengan sumpah sarapah. Namun, perkataan itu benar adanya.

“Kenapa diam? Ngerasa ya kalau lo memang cupu?”

“Bodo amat. Gue nggak peduli. Sini kembaliin bola gue!” Bentak Alena pada lelaki itu.

Tidak ada perubahan ekspresi dari wajahnya. Percuma ganteng tapi kalo sikapnya begitu! Lelaki itu hanya menatap Alena remeh. Sedangkan Alena merasa marah. Ia begitu menyadari bahwa pandangan matanya meremehkannya. Alena kesal. Tangannya gatal untuk menamparnya. Namun hal itu diurungkannya. Bahaya kalau berurusan sama yang begituan.

Beberapa kali, Alena mengerahkan segala caranya untuk mengambil bola basketnya. Namun nihil. Tidak ada caranya yang berhasil untuk merebut bola dari tangannya
.
“Mau lo itu apa sih? Kembaliin bola gue! Gue mau pulang!” Mata Alena telah melotot, ekspresi wajahnya sudah sangat marah.

Sudut bibirnya tertarik ke atas, menampilkan suatu smirk yang agak horror di mata Alena. Alena bergidik ngeri. “Ngambil bola dari gue aja nggak bisa. Tapi sok-sokan hebat!”

“Daripada lo, yang bisanya cuman ngeremehin orang.”

Lelaki itu terdiam. Senyum yang tadi terpancar di wajahnya telah menghilang, tergantikan oleh wajah datarnya lagi. Dasar kingkong wajah datar!

“Kenapa diam? Daripada lo sibuk ngurusin orang, mending lo urusin, urusan lo sendiri. Datang-datang nggak jelas, kenal aja enggak, tapi sok-sokan ngeremehin. Tau apa lo tentang gue?” Ujar Alena sinis, lalu ia mengambil kasar bola itu dari tangan lelaki yang disebut Alena kingkong itu. Kemudian, ia mengambil semua barang-barangnya, dan beranjak pergi dari lapangan basket.

**

Hari mulai gelap, matahari mulai berteduh di tempat peristirahatannya.