Angin
bertiup dengan kencang. Semilir angin malam menusuk ke dalam hati Reina.
Titik-titik air turun dengan sangat deras membasahi rambut panjangku. Aku
berada di sebuah pantai indah bersama dengan lelaki yang aku sayangi. Delviano,
namanya.
“Sayang,
udahan yuk lari-larinya..” Katanya pelan namun tegas, mata hazelnya menatap
Reina dengan lembut. “Kita balik ke
villa aja yuk. Harinya hujan tuh.”
Reina
mengangguk pelan. Menuruti kemauan lelaki yang ia sayang itu. “Ya udah,
ayo.”
Reina
beranjak dari tempatnya tadi. Delvian mengulurkan tangannya ke arah Reina.
Reina menyambutnya dengan senyuman kecil dan tulus. Reina dan Delvian saling
bergandengan tangan. Reina menatap Delvian dengan tatapan teduhnya. Lagi. Ia
tersenyum. Delvian yang merasa ditatap, menoleh, dan membalas tatapan teduh itu
dengan mata hazelnya. Sudut bibirnya tertarik ke atas. Keduanya saling
tersenyum.
**
-Reina-
Awan
bergelung di langit mendung, mengirim tanda bahwa airnya akan tumpah. Titik-titik
air jatuh membasahi bumi, mengguyur bumi dengan derasnya. Titik-titik air
penyejuk gersangnya jiwa. Hujan, entah mengapa aku belajar darinya. Hujan itu
istimewa. Ia selalu ingin kembali meski telah jatuh untuk kesekian kalinya.
Aku
menghela nafas dengan berat. Apa aku tidak mampu pergi jauh? Apa aku tidak bisa
bertahan lebih lama? Aku baru merasakan kebahagiaanku. Namun, kau merebutnya
kembali, cepat atau lambat. Tuhan, kenapa? Apa aku terlalu egois untuk meminta
hidup lebih lama?
Hatiku
sakit, ketika mengetahui bahwa tubuhku mengidap penyakit kanker otak stadium
tiga. Aku tahu, ini mungkin hanyalah kesenangan semata. Aku juga sangat tahu,
bahwa hidupku tidak akan lama lagi. Perasaan ini semuanya kuperuntukkan untuk
Delvian. Aku.. akan berjanji bahwa aku akan menghabiskan sisa waktuku bersamanya.
Apa itu terlalu egois?
Mungkin,
aku tidak ada artinya bagi seorang Delvian. Hanya seorang gadis penyakitan yang
selalu merepotkannya, selalu ngambek padanya, atau selalu merengek ini-itu
padanya. Tidak berarti, mungkin. Dokter memang sudah memvonis bahwa umurku
tidak akan lama lagi. Kemoterapi? Tidak ada efeknya lagi. Aku juga ingin
menyerah. Namun, rasa itu kupendam. Aku menggantinya dengan aku ingin sembuh.
Aku ingin sembuh. Ingin sembuh. Sehingga, tidak akan ada beban bagi keluargaku
dan untuk Delvian juga.
**
-Delviano-
Aku
merasakan resah, sangat resah. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu
yang aneh, yang tidak aku ketahui dari Reina. Walaupun aku mengenalnya kurang
lebih empat tahun lamanya, tapi ada sesuatu yang berbeda.
Fisiknya
seakan-akan melemah. Berat badannya menurun, badannya ringkih, terasa ringan.
Terkadang Reina juga mengeluh sering pusing, dan kalau sudah tidak sanggup bisa
ingin pingsan. Rambutnya juga tidak setebal dulu. Dan selalu lupa dan
membatalkan janji-janjinya. Contohnya saja, waktu itu Delvin mengajak Reina
untuk makan malam. Namun, Reina berkata bahwa ia tidak bisa, karena ada
keperluan mendadak.
Seperti
ada yang janggal. Pasti, ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Tapi, itu apa?
**
-Reina-
Titik-titik air
membasahi tanah tempatnya menginjakkan kaki. Hujan, selalu bisa menyemaikan
kedamaian, dan ketenangan sekaligus. Dari bau tanah sisa tetesnya. Udara dingin
menusuk tubuhnya yang ringkih. Reina lagi-lagi menghela napasnya. Frustasi.
Pintu hati terdalam Reina
berkata, bahwa jalan yang benar adalah untuk menjauh dan menghindar dari
Delvian. Itu lebih baik, daripada ia mengetahui tentang hal ini. Mungkin itu
akan berdampak pada hubungan kami. Aku sangat tahu itu, sangat berat untuk
memulainya. Mungkin, dengan cara ini, Delvian akan muak padaku lalu memutuskan
hubungan ini, dan kemudian ia bertemu dengan gadis yang lebih baik. Yang lebih
dari seorang Reina.
Lebih dari satu minggu
lamanya, aku pergi untuk kemoterapi di Rumah Sakit Singapura, dengan berat hati
aku meninggalkan tanah air, dan meninggalkan Delvian. Aku sudah meminta orang
tuaku untuk merahasiakan penyakitku. Maafkan aku, Vian. Aku… hanya tidak ingin
membuat kamu bersedih dan khawatir. Maaf.
**
Reina
terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Hal yang hanya ia lakukan adalah
menutup matanya, Hanya itu yang dapat dilakukannya selama sisa-sisa hidupku.
Lemah. National Cancer Centre Hospital. Tempat aku melakukan pengobatan.
Mencium bau-bau obat yang tidak asing lagi bagiku.
Dokter
telah memvonis umurku tinggal beberapa bulan lagi. Keadaanku semakin memburuk,
semakin lemah, dan umurku tidak akan lama lagi. Aku mencoba untuk mengambil
secarik kertas dan sebuah pulpen dari nakas di sebelahku.
Kutulis
dengan sepenuh hati. Kata demi kata terangkai, kalimat demi kelimat tersusun.
Kutulis dengan sebisa mungkin. Dan tidak terasa, aku tinggal menulis baris
terakhir. Aku menatap tulisan ku sekali lagi. Aku tersenyum pahit. Surat
terakhir, ya?
Aku
menatap kumpulan kertas di atas nakas. Kertas bewarna putih bersih… tanpa
coretan satupun. Mungkin, jika aku sudah meninggal nanti, aku akan dibalut
dalam kain kafan bewarna putih bersih,
tanpa coretan juga. Ah. Ngomong apa aku ini?! Pikiranku terbayang pada Delvian.
Apa mungkin, jika aku meninggal nanti, Delvian akan peduli denganku?
**
Setelah
dua bulan menghilang tanpa kabar, aku balik ke tanah air. Aku rindu dengan
udara Indonesia. Aku rindu dengan keluargaku. Dan yang paling aku rindu dengan
kekasihku, Delvian. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Delvian.
Apakah dia merindukanku juga? Ataukah sudah melupakanku? Entahlah. Lagipula,
aku juga tidak terlalu berharap banyak.
Keadaanku
sudah membaik. Aku juga ikut senang mendengar kata-kata itu dari dokter
Charles, dokter yang merawatku beberapa bulan ini. Lagipula, aku juga sudah
bosan di sana. Tidak ada teman main, teman ngobrol (selain Mama, tentunya),
makanannya tidak enak semua, badan sakit semua, dan masih banyak lagi hal-hal
yang tidak mengenakkannya. Aku tersenyum kecil. Aku menatap ke sekitar bandara
Soekarno Hatta, dan tatapanku teralihkan pada satu titik. Di mana seseorang
laki-laki dengan memasang kacamata hitam, dan membawa papan di atasnya, ‘Selamat
datang kembali, Reina Evelyn!’ dengan menggunakan huruf capital semua. Sudut bibirku
terangkat. Aku tersenyum lebar. Lalu, sedikit berlari menuju ke arah lelaki
itu.
**
-Delvian-
Reina
menghilang. Nomor teleponnya juga tidak aktif. Ditelepon tidak bisa, disms-pun
tidak menjawab. Ke rumahnya? Entah kenapa sekarang keluarga Reina sering tidak
dir rumah. Entahlah, benar-benar ada sesuatu yang aneh. Karena rasa
penasarannya yang tidak dapat dibendung lagi, Delvian mencoba menyuruh
asistennya, untuk mencari tau tentang Reina dan keluarganya.
Dalam
waktu kurang lebih, dua minggu, asistennya, Rafa, telah menemukan info-info
tentang kekasihnya itu.
“Permisi,
Pak. Saya sudah menemukan beberapa info tentang, Ibu Reina. Ibu Reina sekarang
sedang di Singapura.”
“Singapura?”
Rafa
mengangguk membenarkan. “Dia ke sana dalam proses pengobatan.”
“Pengobatan?”
Memang siapa yang sakit? Pikirnya dalam hati
“Bu
Reina, mengidap penyakit kanker otak,
Pak. Sudah sebulanan ini dia di rawat inap di sana.”
Terkejut?
Tentu saja. Perkiraannya tidak sampai ke situ. Kanker otak? Kenapa Reina tidak
pernah bercerita? Jadi? Selama ini aku dianggapnya apa?
“Raf,
tolong siapkan tiket penerbangan ke Singapura besok. Eh, bukan. Malam ini kalau
perlu.” Kata Delvian memerintah.
Rafa
mengangguk. “Siap, Pak.”
**
Bukan
perkara yang sulit untuk menemukan penerbangan malam ke Singapura. Rafa
mendapatkannya dengan mudah. Sekarang, Delvian sudah berada di pesawat. Selama
penerbangan, ia tidak bisa fokus. Fokusnya hanya pada Reina yang terkena
penyakit kanker. Kenapa ia memendam ini sendiri? Apa aku tidak dianggapnya?
Kenapa? Dasar bodoh! Ia mengumpat kesal. Kenapa aku tidak menyadari ini dari
dahulu? Kenapa?
Tuhan, aku tahu engkau maha adil.
Tuhan, apa aku terlalu egois ketika aku
meminta Reina untuk tetap disisiku?
Tuhan… panjangkanlah umur Reina.
Beri dia kesehatan.
Aku..mohon.
**
Selama
lima jam penerbangan, akhirnya Delvian tiba di bandara Changi Singapura. Dengan
membawa barang-barang yang seadanya, ia mencoba untuk mencari rumah sakit yang
dimaksud. Dalam beberapa menit perjalanan Delvian tiba di rumah sakitnya. Ia
masuk, dan bertanya pada resepsionis.
“Maaf
menganggu waktunya. Saya ingin bertanya, di mana kamar atas nama Reina Evelyn?”
“Mohon
tunggu sebentar, Tuan. Saya akan periksa dahulu.”
Delvian
mengangguk.
“Kamar
atas nama Reina Evelyn ada di lantai tiga, nomor 396A.”
“Terima
kasih banyak.”
**
“Lantai
tiga nomor 396A.” Ulangnya beberapa kali. Ia masuk ke dalam lift. Kemudian
menekan tombol yang di tuju.
TING.
Lift
terbuka, dan sekarang Delvian berada di lantai tiga.
“Nomor
380.” Delvian menyuarakan tulisan yang berada di depan pintu kamar tersebut.
Hingga ia melihat nomor 396A di depan pintunya. Jantung Delvian berdetak lebih
cepat. Ia tidak bisa mengatur deru nafasnya. Antara takut dan khawatir.
Delvian
melihat ke ranjang yang di tiduri oleh Reina. Reina terbaring lemah, dengan
infus dan tabung oksigen yang melekat pada tubuh mungilnya. Ia terduduk di
lantai depan kamar Reina, air matanya merah menahan nangis. Delvian termenung.
Begitu bodoh menjadi seorang lelaki. Kenapa? Kenapa ia begitu terlambat untuk
mengetahui ini semua?
“Loh?
Nak Delvian?” Tanya seorang Ibu paruh baya kepadanya.
Delvian
yang merasa terpanggil mengangkat wajahnya yang tertunduk. “Eh, Tante.” Sapa
Delvian kepada Mamanya Reina. “Reinanya… nggak apa-apa, Tan?” Tanya Delvian
hati-hati.
“Beberapa
hari ini dia mulai melemah lagi. Kemarin-kemarin kan sudah baikan. Taunya,
kondisinya mulai memburuk lagi. Ya, sampai sekarang.” Ujar Emelyn, Mama Reina. “Ngomong-ngomong,
kamu tau dari mana Reina ada di sini? Bukannya Reina nggak mau cerita ya?”
“Reina
emang enggak ada cerita, Tan. Reina tiba-tiba nggak bisa dihubungin. Aku ada
datang ke rumah Tante, dan katanya Tante sama Reina nggak ada di rumah. Hal itu
hampir aku lakuin beberapa minggu. Jadi aku agak curiga. Aku minta sama
asistenku buat nyari tau. Kenapa tiba-tiba kayak menghilang? Dan aku baru tau
beritanya tadi siang.” Ada jeda di sana. Ia menarik nafasnya berat. “Aku…
merasa gagal jadi pacarnya Reina, Tan.”
Emelyn
melotot tidak setuju. “Jangan berkata begitu. Lagipula ini bukan kesalahan kamu
sepenuhnya. Reinanya juga nggak mau ngasih tau kamunya. Dia nggak mau buat kamu
khawatir. Tapi, Tante yakin, Reina sangat sayang padamu. Makanya dia melakukan
ini semua, dan bertahan sampai sekarang. Yang kuat, Delvian.” Emelyn tersenyum
kecut. Delvian tentu memahami maksud Mamanya Reina itu.
“Tante
juga yang sabar. Maaf, selama ini aku nggak ada ngebantu apa-apa untuk Reina.”
Delvian merasa bersalah.
“Kan
sudah tante bilang, ini bukan kesalahan kamu sepenuhnya.” Emelyn tersenyum
tulus.
“Kalau
Reinanya bangun, jangan bilang Delvian ada di sini ya, Tante.”
“Loh
kenapa?”
“Biarin
aja. Nanti malah jadi beban kalau Reina tahu aku ada di sini.” Kata Delvian.
Emelyn
mengangguk. “Benar juga. Yang ada dia malah kaget, lagi.”
Delvian
tersenyum. “Terima kasih, Tante.”
Tuhan, aku tau Engkau maha adil.
Yang kuat, sayang.
Reina pasti kuat.
Bertahanlah, Reina.
Kita berjuang bersama-sama.
**
Satu bulan kemudian.
Reina
sudah merasa badannya sehat kembali. Ia sudah sangat merasa baikan. Tidak
henti-hentinya ia selalu bersyukur telah di beri umur yang panjang hingga
sekarang. Rasa takut emang ada, tapi ia mencoba untuk melawannya. Ia dalam hati
selalu berdoa untuk melindungi dirinya serta kekasihnya, Delvian.
Di
sisi lain, Delvian baru tiba lagi di Singapura. Ia telah mendengar bahwa Reina
sudah baikan beberapa hari ini. Terima
kasih, Tuhan. Hingga sekarang, Reina masih belum mengetahui perihal Delvian
ada di Singapura, dan tahu tentang keadaannya. Seminggu yang lalu ia kembali ke
Indonesia, karena ia meninggalkan pekerjaannya terlalu lama. Ada beberapa
berkas yang memerlukan tanda tangannya, sehingga ia memutuskan untuk pulang.
Seminggu di Indonesia, ia melakukan pekerjaan ekstra. Jadi, ia tidak terlalu
memikirkan pekerjaannya ketika dirinya menjenguk kekasihnya, Reina.
Delvian
tersenyum lebar. Ia sedang melihat Reina yang tertidur lelap di ranjangnya.
Tubuhnya mulai berisi. Tidak seberapa, namun tidak sekurus dan sepucat ketika
ia pertama kali ke sini. Delvian masuk ke dalam ruangannya, kemudian
menggenggam tangan Reina.
“Yang
kuat ya, sayang.” Ia mengecup punggung tangan Reina. “Cepat sembuh. Aku kangen
banget sama kamu.”
Merasa
ada pergerakan dari Reina, Delvian keluar dari kamar Reina. Bahaya kalau Reina
sampai tahu.
Reina
terbangun dari tidurnya. Sudah beberapa kali ia memimpikan mimpi yang sama.
Reina bermimpi tentang Delvian yang sedang membisikkan kata-kata semangat
untuknya. Ini lah yang membuat Reina merasa kuat beberapa hari ini. Mimpi itu
terasa sangat nyata. Seandainya, kalau Delvian tahu tentang keadaan ini, gimana
ya reaksinya?
“Udah
bangun, Rei? Ngelamunin apa hayo?” Tiba-tiba Mama masuk, membawa mangkok dan
air putih. “Ayo, makan dulu sini.”
“Reina
mimpi itu lagi, Ma.”
“Mimpiin
Delvian?”
Reina
mengangguk. “Iya.”
“Mungkin
kamu terlalu kangen sama dia.” Mama terkekeh. “Makanya, kamu cepat sembuh. Biar
bisa balik, bisa ketemu lagi sama Delviannya. Jangan dimimpi aja.”
Raut
wajah Reina berubah. Dan, Emelyn menyadarinya.
“Enggak
ada yang nggak mungkin sayang. Kamu pernah dengar, mujizat itu nyata, bukan?
Nggak ada yang mustahil. Kamu pasti bisa sembuh. Tapi kamunya harus
sering-sering minum obat, makan, sama rutin check up. Oke?” Mama mengambil
mangkok dan sendok, lalu meletakkannya di nakas sebelah Reina. “Nah, ayo makan
dulu. Habis ini minum obat.”
Reina
tersenyum mendengar perkataan Mamanya. Ia membuka mulutnya untuk menerima bubur
itu, dan makan dengan lahap.
**
12
Oktober 2014
Tidak
terasa, waktu berjalan dengan cepat. Bulan September terlewati, sekarang masuk
ke bulan Oktober. Keadaan Reina sudah mulai memulih. Sungguh baik! Ia sudah
bisa makan dengan baik. Walaupun masih harus check up dan ini-itu. Tapi
setidaknya, Reina lebih ceria dari yang sebelumnya. Sudah dua bulan lamanya,
Reina berada di rumah sakit ini. Bosan rasanya. Tidak ada teman untuk
berbicara. Hanya Mama yang setia menemani. Papa sibuk dengan pekerjaannya,
sehingga Papa hanya kadang-kadang datang ke sini. Tapi tidak masalah. Reina
tidak terlalu mempermasalahkan masalah itu. Dan sekarang, Reina dan Mamanya
kembali ke Indonesia. Dalam beberapa jam penerbangan menuju Indonesia, Reina tertidur.
Sehingga lima jam perjalanan rasanya hanya satu jam saja. Karena kebanyakan
tidurnya, hehe.
**
11
Oktober 2014
“Vian,
besok Tante sama Reina sudah balik ke Jakarta. Kamu jemput gih. Dia bilang ke
Tante, katanya dia sering mimpiin kamu. Padahal nggak tau kalau itu asli.”
Emelyn terkekeh.
Delvian
tertawa renyah. “Iya Tante. Siap! Ceritanya kan, Tante sama Reinanya habis
liburan gitu kan.” Kata Delvian lagi.
“Iya,
ceritanya gitu aja. Liburan dua bulan gitu ya.” Emelyn tertawa lagi.
Delvian
juga tertawa, “Ngomong-ngomong, besok penerbangan jam berapa, Tan?”
“Jam
8 pagi, paling sampai Jakarta sekitar jam satu siang.”
“Oke
siapp, laksanakan. Delvian tutup dulu teleponnya ya, Tante.”
“Lain
kali, jangan panggil Tante lagi. Mama aja gitu.”
Delvian
tertawa. “Beneran nih, Tan? Eh—Ma?” Ralatnya.
Mama
juga tertawa. “Iya, Mama juga enggak apa-apa.”
“Yaudah,
hm, Ma. Delvian tutup dulu teleponnya. Besok Delvian telepon lagi.”
“Okay.
Salam buat Mama-mu ya.”
Telepon
terputus, Delvian tersenyum lebar. Reina pulang!
**
Malam
sunyi tinggalkan mimpi, gelapnya malam telah memudar, menjemput indahnya pagi.
Semilir menari, berhembus bersama mentari, waktu telah berganti menjadi hari
baru. Hari baru telah dimulai bersama dengan kicauan merdu. Bening embun
menari, di atas rerumputan, seakan menikmati cerahnya hari ini.
Delvian
bangun pagi hari ini. Lelaki itu begitu bersemangat. Ia telah menyiapkan papan
besar untuk kedatangan kembali kekasihnya, Reina. Bahagia dan rasa senang
meliputi hatinya. Sesuai dengan rencannya kemarin, ia akan berolahraga pagi dahulu,
berangkat kantor untuk mengecek keadaan kantor, kemudian berangkat ke bandara
deh!
Hal
itu benar-benar dilakukan Delvian. Sekarang ia sedang perjalanan ke bandara
Soekarno Hatta, ia memakai kacamata
hitamnya untuk menghalau silau mentari siang. Hari ini matahari begitu
teriknya. Delvian sengaja tidak makan siang, karena ingin sekalian mengajak
Mama Emelyn dan Reina untuk makan siang. Dengan kecepatan stabil, Delvian
membawa mobilnya, hingga tiba di bandara Soekarno Hatta pada pukul dua belas
lewat sepuluh menit.
Sambil
menunggu, Delvian membuka apple-nya untuk melihat perkembangan proyeknya yang
sedang berjalan. Ia sedang menunggu di Starbucks, sambil meminum espresso-nya. Lelaki
itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul dua belas kurang sepuluh
menit. Delvian beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu kedatangan, sambil
membawa papan besar. Masa bodoh dengan yang malu. Yang penting bisa lihat
kekasihnya itu tersenyum kepadanya.
**
Bunyi
pengumuman kedatangan telah berbunyi. Senyum Delvian mengembang. Akhirnya,
waktu yang ditunggu telah tiba. Ia mengangkat tinggi-tinggi papan yang
dibawanya. Papan tersebut bertuliskan ‘Selamat datang kembali, Reina Evelyn!’
dengan bantuan Rafa, ia menyelesaikan ini dalam sekejap.
Delvian
telah mewanti-wantikan kedatangan Reina. Hingga ia melihat gadis dengan
menggunakan sweater bewarna biru gelap dengan celana panjang hitam. Rambut
pendeknya yang terurai indah. Delvian melihat gadis kecilnya tersenyum kecil.
Kemudian, senyum itu berganti dengan senyuman lebar, sambil berlari ke arah
Delvian.
Delvian
terkekeh. Gemas. Delvian langsung menurunkan papannya, kemudian memeluk Reina
erat. “Selamat datang kembali, sayang.” Bisiknya.
Reina
tersipu malu. Gadis itu menyembunyikan wajah merahnya di bahu Delvian.
Delvian
terkekeh lagi. Ia mencubit pipi Reina yang tersipu malu.
“Jadi
gitu ya, Mama ditinggal?” Kata Mama tiba-tiba yang baru saja datang. Mama
tersenyum manis. Ia bahagia melihat anaknya bisa tersenyum lagi.
Reina
tertawa. “Maaf, Ma. Kesenengan sih.”
“Sini,
Ma. Aku bawain barang-barangnya.” Delvian menawarkan.
Mama
memberikan beberapa koper miliknya ke Delvian. Delvian menyambutnya, satu
tangannya yang kosong ia gunakan untuk mengenggam tangan Reina. Mungil. Berbanding
terbalik dengan tangan Delvian yang lebar. Wajah Reina bersemu lagi. Ia
tersenyum begitu lebar.
**
Setelah
itu, Delvian mengajak Reina dan Mamanya untuk makan siang. Selanjutnya,
mengantar ke rumah Reina. Sesampainya di rumah Reina, Mama turun terlebih
dahulu. Disusul oleh Reina yang dibantu dengan Delvian. Delvian memberikan
tangannya, dan disambut oleh Reina. Reina tersenyum lagi. Pipinya bersemu merah
kembali. Gemas!
“Ayo
turun.” Ajak Delvian. Reina kemudian turun dari mobil, dan berjalan menuju
kamarnya, yang tidak ditempati selama dua bulan lamanya.
“Delvian.”
Sapa Reina.
“Ya?”
“Maaf,”
Reina menunduk.
“Maaf
kenapa?”
“Enggak.
Cuman mau minta maaf aja.” Ujar Reina lagi.
“Kamu
aneh deh! Jangan ngomong macem-macem gitu. Bikin aku takut.” Wajah Delvian
berubah menjadi sedih.
“Liburan
kenapa enggak bilang-bilang? Kenapa langsung menghilang gitu aja? Nggak bisa
dihubungin?” Tanya Delvian beruntut.
“Liburan?”
“Loh,
kata Bik Inah kan gitu. Kata Mama-mu juga gitu kok.”
“Oh—itu..”
Suara Reina agak tercekat.
Delvian
menyadari bahwa ia salah ngomong. “Enggak, lupakan deh.”
“Delvian,
besok main ke taman yuk?”
“Boleh.
Mau malam ini? Jangan besok, kelamaan.” Kata Delvian sambil terkekeh.
“Oke.
Malam ini ya.”
“Iya.
Nanti aku jemput.”
Reina
mengangguk menyetujuinya. Ia harus mengatakan sebenarnya. Harus.
**
Siang
bergantikan malam. Sinar matahari berganti dengan cahaya rembulan dan
kerlap-kerlip bintang. Malam ini sangat cerah. Sungguh mendukung, pikir Reina. Reina
telah menyiapkan hatinya dengan segala konsekuensinya. Iya, dia telah
menyiapkan dirinya.
Tepat
jam tujuh malam, Reina dijemput oleh Delvian. Delvian menyapa Emelyn yang
sedang menonton televisi di ruang tengah.
“Mau
jemput Reina ya?”
“Iya,
Ma.” Kata Delvian agak canggung.
Mama
tertawa. “Jangan canggung, biasa aja. Yaudah gih, masuk ke dalam kamarnya
Reina.”
“Oke,
Ma.” Delvian berjalan menuju kamar Reina.
Reina
menggunakan sweater pink dengan celana jeans hitam. Sederhana, namun dapat
membuat Delvian terpukau.
“Cantik.”
Gumamnya.
Reina
tersenyum. “Makasihh. Yukk,” Katanya sambil memasang sepatu flatnya.
Taman
yang dimaksud adalah taman yang di dekat rumahnya. Mereka berjalan kaki sambil
bergandengan tangan. Tidak ada yang membuka suara, mereka masih menikmati
suasana ini masing-masing. Hingga suara Reina memecah keheningan di antara
keduanya.
“Delvian.”
“Ya?”
“Sebenarnya,
aku mau ngomong jujur sama kamu.”
“Ngomong
jujur tentang apa?” Alisnya hampir menyatu, ia bingung ke mana arah tujuan
pembicaraan Reina. Apa mungkin tentang penyakitnya?
“Sebenarnya,
aku… punya penyakit kanker otak.” Katanya terbata-bata. Matanya memerah,
menahan tangis.
“…dan
aku, sudah divonis dokter. Umurku tidak akan lama lagi, Delvian. Maaf.”
Tangisnya pecah. Genggaman tangannya terlepas. Ia menutup wajahnya dengan kedua
tangannya.
Delvian
tersenyum kecil. “Sebenarnya aku sudah tau, sayang.” Delvian membawa Reina
dalam pelukannya. Reina agak sedikit terkejut.
“Sudah
tau?” Mata sembabnya membesar.
“Iya.
Sejak dua bulan yang lalu.” Kata Delvian.
“Dari
siapa?”
“Cari
tau sendiri lah. Keluarga kamu mana ada yang ngasih tau. Katanya permintaan
anaknya.” Ledek Delvian.
Bibir
Reina maju beberapa sentimeter. “Jangan manyun gitu.”
“Terus?”
“Terus
apanya?”
“Kamu
cuman tau aku sakit doang? Terus tadi kenapa bilang gimana liburannya?”
“Kan,
biar kamu nggak curiga.” Jawab Delvian enteng.
“Aku
mimpiin kamu loh.” Curhat Reina.
“Serius?
Mimpi apa?”
“Banyak.
Kamu nyemangatin aku biar aku tetap kuat. Terus kamu bilang, ‘ayo kita berjuang
sama-sama.’ Dan banyak lagi.”
Delvian
mangut-mangut. “Oh gitu, kangen aku ya?”
“Banget.”
Jawabnya. “Emang kamu nggak kangen aku?” Tanya Reina balik.
“Kangen
banget.” Kata Delvian sambil menatap kerlap-kerlip bintang di langit malam. Mereka
sedang rebahan di hamparan rumput di taman dekat rumah Reina.
“Bohong.”
“Kapan
aku pernah bohong?” Sargahnya balik. “Lihat bintangnya deh. Bagus ya.”
“Iya.
Bagus. Itu bukannya bintang jatuh?” Jari mungilnya menunjuk kea rah bintang
yang agak besar.
“Mau
ngasih permintaan?”
“Boleh.”
Mereka
berdua menutup matanya. Meminta satu permohonan.
Tuhan. Biarkan kami selalu seperti
ini. Jangan pisahkan kami.
“Kamu
mohon apa tadi?” Tanya Reina.
“Kamu
kepo deh.” Usil Delvian.
“Ih
jadi kamu gitu.”
Delvian
tertawa. “Ngambek ya? Bercanda kok.” Wajahnya berubah menjadi serius. “Permintaan
aku? Biar kamu enggak sakit-sakit lagi. Dan tetap berada di sisiku.” Delvian
menatap Reina dengan serius namun penuh kelembutan.
Reina
terdiam. Tidak bersuara.
“Jangan
pergi. Kita lewatin semuanya, sama-sama ya? Kamu harus kuat, Reina.” Kata
Delvian lemah.
Reina
memeluk Delvian dengan erat. Seakan-akan tidak akan meninggalkannya begitu
saja.
“Pasti.”
**
Ini
bukanlah suatu akhir yang bahagia. Namun setidaknya, tidak terlalu menyedihkan.
Biarkan mereka menjalani hidupnya sebagaimana mestinya. Memiliki penyakit
bukanlah suatu halangan dalam membangun komitmen. Saling menghargai dan saling
menyemangati. Maka di situlah akan ada fondasi yang kokoh.
Biarkan
mereka bahagia dengan cara mereka sendiri. Karena semua manusia perlu merasakan
bahagia yang abadi.
-TAMAT-